Polemik Seputar Hukum Kencing Kucing Najis
Ditulis oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja, MA hafidzahullah
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebagian
orang dikagetkan dengan pendapat seorang Ustadz bahwa kencing kucing
tidaklah najis. Bahkan sebagian orang langsung menjadikan pendapat
tersebut sebagai bahan ejekan untuk menjatuhkan sang Ustadz.
Namun ternyata pendapat tentang “Tidak” najisnya kencing kucing adalah pendapat yang cukup kuat dari sisi dalil.
Bahkan pendapat ini dipilih oleh sebagian ulama besar yang dikenal seperti Al-Imam Al-Bukhari dan Asy-Syaukani rahimahumallahu.
Sebelum menyebutkan pendalilan akan “tidak najisnya kencing kucing” ada beberapa perkara yang perlu ditegaskan kembali,
Pertama,
Tidak semua yang kotor adalah najis. Contoh ingus, upil, nasi basi,
ayam basi, dll. Demikian juga kecing onta dan kotorannya serta kencing
kambing dan kotorannya juga tidak najis. Bahkan menurut pendapat yang
terkuat bahwa kecing dan kotoran hewan yang bisa dimakan adalah tidak
najis meskipun semua orang sepakat akan ke-kotorannya.
Kedua,
Tidak semua yang haram dimakan maka otomatis menjadi najis. Contohnya
racun. Benda ini haram namun tidak najis. Demikian juga -menurut
pendapat yang terkuat- bahwa khomer itu haram namun tidaklah najis.
Ketiga, Tidak ada “ijmak” (kesepakatan) para ulama akan najisnya kencing kucing. Sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.
Al-Imam Al-Bukhari membuat suatu bab dalam shahihnya yang beliau beri judul:
بَابُ أَبْوَالِ الإِبِلِ، وَالدَّوَابِّ، وَالغَنَمِ وَمَرَابِضِهَا
“Bab : (tentang) air kencing onta, hewan-hewan, kambing dan kendangnya”.
Lalu beliau berkata:
وَصَلَّى أَبُو مُوسَى فِي دَارِ البَرِيدِ وَالسِّرْقِينِ، وَالبَرِّيَّةُ إِلَى جَنْبِهِ، فَقَالَ: «هَاهُنَا وَثَمَّ سَوَاءٌ»
“Abu
Musa (al-‘Asyari) pernah sholat di rumah al-Bariid (yaitu rumah tempat
singgah pengantar surat-surat) dan di As-Sirqiin (yaitu kotoran hewan
secara umum), ketika itu tanah lapang ada di samping beliau, lalu beliau
mengatakan, “Sholat di sini dan di sana (tanah lapang) sama saja”.
Kemudian
Al-Imam Al-Bukhari membawakan hadits tentang kisah ‘Uroniyyin, dimana
Nabi menyuruh mereka berobat dengan meminun kencing onta.
Mengomentari hal ini al-Imam Ibnu Hajar berkata,
لَكِنَّ
ظَاهِرَ إِيرَادِهِ حَدِيثَ الْعُرَنِيِّينَ يُشْعِرُ بِاخْتِيَارِهِ
الطَّهَارَةَ وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ قَوْلُهُ فِي حَدِيثِ صَاحِبِ
الْقَبْرِ وَلَمْ يَذْكُرْ سِوَى بَوْل النَّاس وَإِلَى ذَلِك ذهب
الشّعبِيّ وبن عُلَيَّةَ وَدَاوُدُ وَغَيْرُهُمْ وَهُوَ يَرُدُّ عَلَى مَنْ
نَقَلَ الْإِجْمَاعَ عَلَى نَجَاسَةِ بَوْلِ غَيْرِ الْمَأْكُولِ
مُطْلَقًا
“Akan
tetapi dzohir dari sikap Al-Bukhari yang membawakan hadits
al-‘Uroniiyin mengiysaratkan bahwa beliau (al-Imam Al-Bukhari) memilih
bahwa kencing hewan-hewan tersebut suci. Dan ini juga ditunjukan oleh
perkataan beliau tentang hadist penghuni kubur (yang diadzab karena
najis kecingnya) “Nabi tidak menyebutkan kencing manusia”. Dan inilah
pendapat As-Sya’bi, Ibnu ‘Ulayyah, Dawud (az-Dzohiri) dan yang lainnya.
Dan ini membantah orang yang menukil tentang ijmak (kesepakatan) ulama
akan najisnya kencing hewan yang haram di makan secara mutlak” (Fathul
Baari 1/335)
Sangat
jelas bahwa Ibnu Hajar membantah orang yang menyatakan bahwa najisnya
kencing kucing adalah ijmak, karena ada para ulama yang menyatakan tidak
najis, diantaranya As-Sya’bi, Ibnu ‘Ulayyah, Dawud, Al-Bukhari, dan
yang lainnya.
Keempat:
Pendapat ini juga yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syaukani dengan
pendalilan yang sangat kuat, sebagaimana beliau paparkan dalam kitab
beliau Nailul Author. Sisi pendalilan beliau bahwa kencing kucing tidak
najis adalah sbb.,
- Hukum asal sesuatu adalah suci, hingga ada dalil yang menunjukan akan kenajisannya.
- Telah datang dalil-dalil shahih yang menunjukan bahwa kencing onta dan kambing adalah suci, dan ini semakin menguatakan bahwasanya hukum asal sesuatu adalah suci termasuk kencing dan kotoran hewan. Dan dalil-dalil ini nas tegas bahwa kotoran dan kencing hewan yang halal dimakan adalah suci, karena kambing dan onta halal dimakan.
- Adapun kencing dan kotoran hewan yang haram dimakan (termasuk kucing), juga kembali kepada hukum asal yaitu suci, hingga ada dalil yang menunjukan kenajisannya.
- Najis adalah suatu hukum yang keluar dari hukum asal. Karena itu, sesuatu tidak bisa dinyatakan najis kecuali ada dalilnya yang mengeluarkan dari hukum asalnya.
- Tidak ada dalil yang menunjukan bahwa kencing seluruh hewan najis. Adapun dalil yang dijadikan argumentasi oleh asy-Syafi’iyah yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ لَا يَسْتَنْزِهُ مِنْ الْبَوْلِ
“Salah satunya diadzab karena tidak bersih dari kencing”, dengan
maksud bahwa kencing di sini adalah umum mencakup seluruh kencing hewan.
Maka pendalilan ini dibantah oleh al-Imam Al-Bukhari bahwa yang
dimaksud adalah kencing manusia bukan yang lainnya. (lihat Fathul Baari
1/321, Syarh Ibnu Bathhool 1/326-327).
Dalil yang paling kuat akan najisnya kencing hewan yang haram dimakan
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait الرَّوْثَةُ (kotoran). Beliau mengatakan,
إنَّهَا رِكْسٌ
“Itu adalah najis” (sebagaimana dalam hadits ibnu Mas’ud, dan dalam
sebagian riwayat disebutkan bahwa kotoran tersebut adalah kotoran himar,
yaitu dalam riwayat Ibnu Khuzaimah,
إنَّهَا رِكْسٌ إنَّهَا رَوْثَةُ حِمَارٍ
“Itu adalah najis, sesungguhnya itu adalah kotoran himar” (lihat
Fathul Baari 1/257). Hadits ini nash bahwa kotoran himar najis. Dan
الرَّوْثَةُ secara bahasa digunakan untuk menyebut kotoran kuda, bighol,
dan himar. (Sementara kuda halal untuk dimakan)
Adapun hewan-hewan yang haram dimakan yang lainnya maka kotorannya
juga najis dengan dalil qiyas terhadap kotoran himar dengan kesamaan
sama-sama haram dimakan.
Namun qias ini dikritiki oleh Asy-Syaukani, beliau menjelasakan jika
‘illah/sebab yang menjadikan kotoran sesuatu haram adalah karena hewan
tersebut haram dimakan ternyata terbantahkan dengan najisnya kotoran
jallaalah, padahal jallaalah boleh dimakan, namun kotorannya najis.
Jadi jika terdapat dalil yang menunjukan bahwa kotoran atau kencing
hewan tertentu bisa diqiaskan dengan kotoran himar maka diikutkan. Dan
jika tidak maka kembali kepada hukum asal yaitu suci.
(Lihat penjelasan Asy-Syaukani di Nailul Authar 1/71)
Dan
pendapat ini juga yang dikuatkan dan dipilih oleh Muhammad Ali Adam
dalam kitabnya Dzakhiirotul ‘Uqbaa 1/520-522 dan 5/140-141).
Tulisan ini hanya ingin menjelaskan sisi pendalilan al-Imam Asy-Syaukani bukan dalam rangka merajihkan.
Adapun
berdalil untuk menyatakan bahwa “kencing kucing tidak najis” dengan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kucing itu tidak
najis karena dia sering mengelilingi kalian” maka kesimpulan dari dalil
ini, kurang kuat. Karena jika jasad sesuatu hewan tidak najis maka
tidak menunjukkan kotorannya juga tidak najis. Seperti manusia, tubuhnya
suci namun kotorannya najis. Demikian juga himar badannya tidak najis
akan tetapi kotorannya najis.
Wallahu a’lam.
Sumber: https://konsultasisyariah.com/