Pertanyaan:
Masjid di komplek saya, pada waktu dibangun oleh developer arahnya mengarah ke barat mengikuti arah bangunan perumahan. Setelah lama berjalan, ada seorang ustadz mengkritik keberadaan arah kiblat masjid tersebut. Sehingga oleh pengurus masjid di belokkanlah arah kiblatnya menjadi miring, lebih kurang 26 derajat dari arah barat, sesuai dengan ketentuan petunjuk arah kiblat di daerah saya. Jadi, bangunan masjid itu tetap lurus, sedangkan di dalam masjid serong sesuai dengan arah kiblat.
Yang ingin saya tanyakan: (1) Bagaimana keberadaan masjid tersebut? (2) Apakah kita boleh shalat dengan mengikuti bangunan masjid, yaitu lurus ke arah barat, atau kita shalat miring mengikuti arah kiblat yang sudah disesuaikan?
Atas jawabannya, saya ucapkan jazakallahu khair.
Jawaban:
Sebagaimana telah diketahui, menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat. Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haram. [al-Baqarah/2:149].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seseorang yang melakukan shalat dengan buruk:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغْ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
Jika engkau berdiri untuk melakukan shalat, maka sempurnakanlah wudhu`, kemudian menghadaplah kiblat, lalu bertakbirlah!
Demikian pula umat Islam telah ijma’ (bersepakat) tentang kewajiban menghadap kiblat ketika shalat. Oleh karena itu, orang yang berada di dekat Ka’bah wajib menghadap langsung bangunan Ka’bah itu. Adapun bagi yang jauh dari Ka’bah, maka cukup dengan menghadap ke arahnya, sebagaimana disebutkan oleh ayat di atas. Misalnya, seseorang yang berada di sebelah utara Ka’bah, seperti kota Madinah, maka kiblatnya adalah arah selatan, yaitu yang ada antara timur dan barat.
Tidak perlu menghitung derajat kemiringannya untuk mengarah ke Ka’bah, sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
Arah antara timur dan barat adalah kiblat.
Demikian juga bagi kaum Muslimin di Indonesia, karena berada di sebelah timur Ka’bah, maka kiblatnya ialah arah barat, dan tidak perlu menghitung derajat kemiringan ke arah utara. Yaitu anggapan bahwa kiblat itu menghadap ke arah barat, namun agak miring ke utara 26 derajat atau semacamnya
Mengapa, karena hal ini dikhawatirkan termasuk ghuluw (sikap melewati batas) dalam beragama. Selain itu, hal tersebut akan membawa kebingungan dan musibah bagi kaum muslimin. Misalnya masjid-masjid yang sekarang sudah dibangun, seandainya diukur derajatnya dengan kompas ke arah kiblat, lalu dianggap kurang tepat, maka kemudian masjid itu harus dirombak, atau menghadap kiblatnya dimiringkan dari bangunan masjid; yang demikian ini akan membawa musibah.
Oleh karena itu, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata: “Adapun ilmu astronomi, jika seseorang mempelajari darinya perkara yang dibutuhkan untuk penunjuk arah, mengetahui kiblat, dan mengetahui jalan-jalan, hal itu boleh menurut jumhur (mayoritas ulama). Sedangkan selebihnya, maka ia tidak membutuhkannya, karena hal itu akan menyibukkannya dari perkara yang lebih penting darinya. Dan memperdalam ilmu astronomi, kemungkinan akan membawa kepada prasangka buruk kepada mihrab-mihrab kaum muslimin di kota-kota mereka, sebagaimana hal itu sering terjadi dari sebagian ulama dahulu dan sekarang. Hal ini akan membawa kepada keyakinan, dengan beranggapan adanya kesalahan para sahabat dan tabi’in dalam shalat mereka di banyak kota, sedangkan (keyakinan) yang seperti ini batil.
Imam Ahmad rahimahullah telah mengingkari perbuatan berdalil dengan bintang jadyu (bintang yang berada di dekat kutub untuk mengetahui kiblat), dan beliau berkata: ”Yang datang (dari Nabi, Red.) hanyalah ‘arah antara timur dan barat adalah kiblat’. Yakni, tidak ada dalil yang menunjukkan bintang tersebut atau bintang-bintang lainnya (sebagai petunjuk arah kiblat)”.
Dari penjelasan ini, maka sebaiknya arah kiblat di masjid tersebut dikembalikan seperti semula, untuk menetramkan kaum muslimin dalam beragama. Wallahu a’lam.
Sumber: https://almanhaj.or.id/