HADD SAKR (MINUMAN KERAS)
Oleh: Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Pengharaman Khamr
Allah Ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن
يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ
فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi,
(berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberun-tungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud
hendak menimbul-kan permusuhan dan kebencian di antara kamu dengan khamr
dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat;
maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [Al-Maa-idah :
90-91]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ.
“Tidaklah
berzina seorang pezina ketika ia berzina dalam keadaan beriman, tidak
pula meminum khamr ketika meminumnya dalam keadaan beriman.”[1]
Dan dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْخَمْرُ
أُمُّ الْخَبَائِثِ، فَمَنْ شَرِبَهَا لَمْ تُقْبَلْ صَلاَتُهُ
أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا، فَإِنْ مَاتَ وَهِيَ فِيْ بَطْنِهِ مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً.
“Khamr
adalah induk dari segala kejahatan, barangsiapa meminumnya, maka
shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada
khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang
Jahiliyyah.”[2]
Dan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhua, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْخَمْرُ أُمُّ الْفَوَاحِشِ، وَأَكْبَرُ الْكَبَائِرِ، مَنْ شَرِبَهَا وَقَعَ عَلَى أُمِّهِ، وَخَالَتِهِ، وَعَمَّتِهِ.
“Khamr
adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling be-sar, barangsiapa
meminumnya, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya, dan saudari
ayahnya.”[3]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُدْمِنُ الْخَمْرِ كَعَابِدِ وَثَنٍ.
‘Pecandu khamr seperti penyembah berhala.’”[4]
Dan dari Abud Darda’, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مُدْمِنُ الْخَمْرِ.
“Pecandu khamr tidak akan masuk Surga.”[5]
Juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لُعِنَتِ
الْخَمْرُ عَلَى عَشْرَةِ أَوْجُهٍ بِعَيْنِهَا وَعَاصِرِهَا
وَمُعْتَصِرِهَا، وَبَائِعِهَا وَمُبْتَاعِهَا، وَحَامِلِهَا
وَالْمَحْمُولَةِ إِلَيْهِ، وَآكِلِ ثَمَنِهَا، وَشَارِبِهَا وَسَاقِيهَا.
‘Khamr dilaknat pada sepuluh hal:
- Pada zatnya
- Pemerasnya
- Orang yang memerasnya untuk diminum sendiri
- Penjualnya
- Pembelinya
- Pembawanya
- Orang yang meminta orang lain untuk membawanya
- Orang yang memakan hasil penjualannya
- Peminumnya, dan
- Orang yang menuangkannya.’”[6]
Apa yang Dimaksud Dengan Khamr?
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ.
‘Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr haram hukumnya.’[7]
Dari
‘Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah ditanya tentang bita’, yaitu arak yang dibuat dari
madu, dan penduduk Yaman biasa meminumnya, lalu beliau bersabda,
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ.
‘Setiap minuman yang memabukkan, maka hukumnya haram.’”[8]
Dari
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “‘Umar Radhiyallahu ‘anhu
berdiri di atas mimbar lalu berkata, ‘Amma ba’du, telah turun
pengharaman khamr yaitu (khamr yang) terbuat dari lima bahan; (1)
anggur, (2) kurma, (3) madu, (4) gandum, serta (5) sya’iir. Dan khamr
adalah apa yang bisa menutupi akal.’”[9]
Dari an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
مِنَ الْحِنْطَةِ خَمْرًا، وَمِنَ الشَّعِيْرِ خَمْرًا، وَمِنَ الزَّبِيبِ
خَمْرًا، وَمِنَ التَّمْرِ خَمْرًا، وَمِنَ الْعَسَلِ خَمْرًا.
‘Sesungguhnya
dari gandum bisa dijadikan khamr, dari sya’ir bisa dijadikan khamr,
dari anggur kering bisa dijadikan khamr, dari kurma bisa dijadikan
khamr, dan dari madu bisa dijadikan khamr.’”[10]
Banyak Atau Sedikitnya Khamr Tidak Berbeda (Hukumnya)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ.
‘Setiap yang memabukkan hukumnya haram, dan apa yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun tetap haram.’”[11]
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ مَا أَسْكَرَ الْفَرَقُ مِنْهُ فَمِلْءُ الْكَفِّ مِنْهُ حَرَامٌ.
‘Setiap
yang memabukkan hukumnya haram, dan apa yang setara dengan saru faraq
(ukuran yang setara tiga sha’) memabukkan, maka sepenuh telapak tangan
darinya adalah haram.’”[12]
Hadd Peminum Khamr
Apabila
seorang mukallaf berada dalam keadaan tidak terpaksa meminum khamr,
sedangkan ia tahu bahwa yang diminum adalah khamr, maka ia didera 40
kali. Apabila diperlukan, hakim boleh menambahnya hingga 80 kali,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hushain(•) bin al-Mundzir,
“Bahwasanya ‘Ali mencambuk al-Walid bin ‘Uqbah karena meminum khamr
dengan 40 kali cambukan, lalu ia berkata, ‘Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menvambuk dengan 40 kali cambukan, Abu Bakar 40 kali
cambukan, dan ‘Umar 80 kali cambukan. Semuanya merupakan Sunnah, dan
yang ini (40 kali cam-bukan) lebih aku sukai.’” [13]
Apabila
seseorang meminum khamr berulang kali, dan ia telah dicambuk setiap ia
mengulanginya, maka boleh bagi imam untuk membunuhnya.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
سَكِرَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فَاجْلِدُوهُ
ثُمَّ قَالَ فِي الرَّابِعَةِ فَإِنْ عَادَ فَاضْرِبُوا عُنُقَهُ.
‘Apabila
ada seseorang yang mabuk, maka cambuklah ia, apabila ia mengulangi,
maka cambuklah ia.’ Kemudian beliau bersabda pada kali keempat, ‘Apabila
ia mengulanginya, maka penggallah lehernya.’”[14]
Dengan Apa Ditetapkannya Hadd?
Hadd ditetapkan dengan salah satu dari dua perkara;
- Pengakuan dan
- Kesaksian dua orang yang adil.
Tidak Boleh Mendo’akan Kejelekan Bagi Peminum Khamr
Dari
‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Pada masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang laki-laki bernama ‘Abdullah
yang dijuluki al-himar (keledai). Laki-laki tersebut pernah membuat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa. Beliau juga pernah
mencambuknya karena meminum khamr. Pada suatu hari ia dihadapkan kepada
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau memutuskan agar ia
dicambuk. Lalu seseorang dari kaum muslimin berkata, ‘Ya Allah,
laknatlah ia! Begitu sering ia melakukannya.’ Kemudian Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَلْعَنُوْهُ فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ.
‘Janganlah kalian melaknatinya, Demi Allah, aku mengetahui bahwa ia mencintai Allah dan RasulNya.’”[15]
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Seorang pemabuk
dihadapkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
memerintahkan agar ia dipukul. Di antara kami ada yang memukul dengan
tangan, dengan sandal, ada pula yang memukul dengan baju. Ketika orang
itu berlalu, seseorang berkata, ‘Celakalah ia, semoga Allah
menghinakannya.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَكُوْنُوْا عَوْنَ الشَّيْطَانِ عَلَى أَخِيْكُمْ.
‘Janganlah kalian menjadi penolong syaitan untuk mencelakakan saudara kalian.’”[16]
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka
Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]
_______
Footnote
[1] Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7707)
[2] Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3344)], ath-Thabrani dalam al-Ausath (no. 3810).
[3] Hasan: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3345)], ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XI/164, no. 11372).
[4] Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2720)], [ash-Shahiihah, no. 677], Sunan Ibni Majah (II/1120, no. 3375).
[5] Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah 2721], [ash-Shahiihah, no. 678], Sunan Ibni Majah (II/1121, no. 3376).
[6]
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah, no. 2725], Sunan Ibni Majah
(II/1121, no. 3380), dan ini lafazhnya. Sunan Abi Dawud (X/122, no.
3665), Sunan at-Tirmidzi (III/193, no. 1925), Sunan an-Nasa-i
(VIII/298).
[7]
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah, no. 2734], Shahiih Muslim (III/1588,
no. 2003 (75)), Sunan Ibni Majah (II/1124, no. 3390).
[8]
Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (X/41, no. 5586) dan ini lafazhnya,
Shahiih Muslim (III/1585, no. 2001), Sunan Abi Dawud (X/122, no. 3665),
Sunan at-Tirmidzi (III/193, no. 1925), Sunan an-Nasa-i (VIII/298).
[9]
Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (X/35, no. 5581), Shahiih Muslim
(IV/2322, no. 3032), Sunan Abi Dawud (X/122, no. 3665), Sunan
at-Tirmidzi (III/193, no. 1925), Sunan an-Nasa-i (VIII/298).
[10]
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2724)], Sunan Ibni Majah
(II/1121, no. 3379), Sunan Abi Dawud (X/114, no. 3659), Sunan
at-Tirmidzi (III/197, no. 1934).
[11]
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2736)], Sunan Ibni Majah
(II/1124, no. 3392), dan diriwayatkan pula oleh an-Nasa-i dengan lafazh
yang berbeda (VIII/300, 297).
[12]
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 4552)], Sunan at-Tirmidzi
(III/194, no. 1928), Sunan Abi Dawud (X/151, no. 3670).
(•) Mungkin yang dimaksud adalah Hudhain bin al-Mundzir.-penj.
[13] Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1047)], Shahiih Muslim (III/1331, no. 1707).
[14]
Hasan shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2085)], Sunan Ibni Majah
(II/859, no. 2572), Sunan Abi Dawud (XII/187, no. 4460), Sunan an-Nasa-i
(VIII/314).
[15] Shahih: [Al-Misykaah (no. 2621)], Shahiih al-Bukhari (XII/75, no. 6781).
[16]
Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7442)], Shahiih al-Bukhari
(XII/75, no. 6781), Sunan Abi Dawud (XII/176, no. 4453).
Sumber: https://almanhaj.or.id/