Kaidah-kaidah Tentang Sifat-sifat Allah ﷻ – Al-Asma’ wa Ash-Shifat (2)
قَوَاعِدُ فِي صِفَاتِ اللهِ
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc.MA.
Selanjutnya
penulis akan menyebutkan kaidah-kaidah yang urgen yang berkaitan dengan
sifat-sifat Allah. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
KAIDAH PERTAMA
صِفَاتُ اللهِ كُلُّهَا كَامِلَةٌ لاَ نَقْصَ فِيْهَا بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ
Semua sifat-sifat Allah ﷻ sempurna, tidak ada kekurangan sedikit pun dari sisi mana pun
Contoh, sifat الْحَيَاةُ (Maha
Hidup) adalah sifat Allah ﷻ yang bermakna kehidupan sempurna yang azali
dan abadi, tidak didahului dengan ketiadaan dan juga tidak diakhiri
dengan kematian. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيءٌ غَيْرُهُ
“Sesungguhnya Allah ﷻ ada tanpa permulaan, tidak suatu apa pun selain Dia.” ([1])
Berbeda dengan manusia yang bermula dengan ketiadaan dan diakhiri dengan kematian. Allah ﷻ berfirman,
هَلْ أَتَىٰ عَلَى الْإِنسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا
“Bukankah
telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu
belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?.” (QS. Al-Insan: 1)
Begitu juga perkataan Allah ﷻ kepada Nabi Zakariya ‘alaihissalam,
قَالَ كَذَٰلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِن قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا
“(Allah
ﷻ) berfirman, ‘Demikianlah.’ Tuhanmu berfirman, ‘Hal itu adalah mudah
bagi-Ku; dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal
kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.” (QS. Maryam: 9)
Demikian
juga ketika manusia dibangkitkan kembali pada hari kiamat lalu
diberikan kehidupan abadi -apakah di surga atau di neraka- maka
keabadian mereka bukan independent (لِذَاتِهِ) akan tetapi karena
diabadikan oleh Allah. Lain halnya dengan Allah yang hidupNya dan
keabadianNya adalah secara dzatNya sendiri.
KAIDAH KEDUA
ظَوَاهِرُ نُصُوْصِ الصِّفَاتِ تُفْهَمُ مَعَانِيْهَا لاَ كَيْفِيَّتُهَا
Dzahir dari nas-nas sifat dari sisi maknanya bisa dipahami tapi dari sisi kaifiahnya tidak bisa dipahami
Contoh : sifat السَّمْعُ (mendengar)
Allah ﷻ bisa dipahami maknanya yaitu mendengar sesuatu yang didengar,
namun kaifiah mendengar-Nya Allah ﷻ tidak bisa dipahami.
Dalam menyikapi dzahir nas-nas berkaitan dengan sifat Allah ﷻ maka manusia terbagi ke dalam tiga golongan:
- Muawwilah (para penakwil), mereka mengatakan bahwa yang diinginkan oleh Allah ﷻ bukan dzahirnya, sehingga ayat-ayat tersebut harus ditakwil. Seperti sifat istiwa’ dimaknai dengan istaula (menguasai)
- Mufawwidhah, mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Allah ﷻ bukan dzahirnya dan juga maknanya tidak mungkin untuk diketahui, sehingga semuanya diserahkan kepada Allah ﷻ. Seperti sifat istiwa’ tidak mereka maknai dengan sesuatu apa pun.
- Ahlusunah, mereka membiarkan makna ayat sesuai dzahirnya tanpa membagaimanakan, atau dengan kata lain bahwa yang Allah ﷻ maksud adalah sesuai dzahir ayat, hanya saja kita serahkan kepada Allah ﷻ bagaimana kaifiahnya. Seperti sifat istiwa’ mereka maknai dengan “di atas” dan beberapa makna lainnya sesuai konsekuensi bahasa Arab, akan tetapi “di atas”nya Allah ﷻ tidak diketahui bagaimana kaifiahnya.
Kesimpulan
manhaj Akidah Ahlusunah dalam menetapkan sifat-sifat Allah ﷻ adalah
“Menetapkannya secara hakikatnya dan meyakini bahwa hakikatnya tidak
mungkin diketahui, namun pasti menyelisihi hakikat sifat-sifat makhluk”.
Hal ini terangkum dalam penjelasan Abu Ísa At-Tirmidzi rahimahullah
dalam sunannya. Beliau berkata,
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا
عَبَّادُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَال
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا
بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا لِأَحَدِكُمْ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ
مُهْرَهُ حَتَّى إِنَّ اللُّقْمَةَ لَتَصِيرُ مِثْلَ أُحُدٍ وَتَصْدِيقُ
ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ((أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ
الصَّدَقَاتِ)) وَ((يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ))
قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ هَذَا وَقَدْ
قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا
يُشْبِهُ هَذَا مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا
قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِي هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلَا يُتَوَهَّمُ
وَلَا يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ
عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي
هَذِهِ الْأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلَا كَيْفٍ وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ
الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ
فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ
ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ
وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الْآيَاتِ
فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ
هَاهُنَا الْقُوَّةُ، وقَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ
التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ
كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ
سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ
تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ
مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ ((لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ))
“Telah
menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin ‘Ala’ telah
menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami ‘Abbad bin
Manshur telah menceritakan kepada kami Al-Qasim bin Muhammad dia
berkata, saya mendengar Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya Allah ﷻ menerima sedekah dengan
tangan kanan-Nya lalu mengembangkannya untuk kalian sebagaimana kalian
membesarkan anak kuda kalian, sampai-sampai sesuap makanan akan menjadi
sebesar gunung Uhud’. Dan Hal ini dibenarkan di dalam Al-Qur’an pada
firman Allah ﷻ (yang artinya), ‘Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya
Allah ﷻ menerima Taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat’
(At-Taubah: 104) dan firman Allah ﷻ, ‘Allah ﷻ memusnahkan riba dan
menyuburkan (mengembangkan) sedekah.’ (QS. Al-Baqarah: 276)
Abu
‘Isa berkata, ‘ini adalah hadis hasan sahih’. Dan telah diriwayatkan
dari ‘Aisyah dari Nabi Muhammad ﷺ seperti hadis di atas. Para ulama
telah memberi penjelasan tentang hadis di atas dan hadis-hadis lain yang
memuat sifat-sifat Rabb dan tentang turun-Nya Allah ﷻ setiap malam ke
langit dunia, mereka berkata, riwayat-riwayat tersebut semuanya sahih
dan wajib untuk diimani serta tidak boleh dikhayalkan dan tidak
dipertanyakan bagaimana hakikat sifat tersebut. Demikian diriwayatkan
dari Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdullah bin Al-Mubarak mereka
semuanya berkata tentang sifat-sifat Allah ﷻ, أَمِرُّوهَا بِلَا كَيْفٍ ‘Tetapkanlah/Imanilah
sifat-sifat tersebut sebagaimana telah diriwayatkan tanpa mengatakan
bagaimana hakikatnya’, demikianlah perkataan para ulama Ahlusunah wal
Jamaah.
Adapun
golongan Jahmiyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat tersebut bahkan
mengatakan bahwa menetapkan sifat untuk Allah ﷻ merupakan tasybih
(menyerupakan Allah ﷻ dengan hamba-Nya). Padahal Allah ﷻ telah
menyebutkan dalam banyak ayat sifat tangan, pendengaran, dan
penglihatan, maka Jahmiyah pun menakwil sifat-sifat tersebut dan
menafsirkannya tidak seperti penafsiran para ulama. Jahmiyah berkata,
‘Sesungguhnya Allah ﷻ tidak menciptakan Adam dengan tangan-Nya’, dan
mereka mengatakan makna tangan ialah kekuatan. Ishaq bin Ibrahim
berkata, ‘Yang dinamakan dengan tasybih ialah jika dia mengatakan tangan
Allah ﷻ seperti tangan makhluk, pendengaran Allah ﷻ seperti pendengaran
makhluk. Jika ternyata dia mengatakannya maka itu merupakan tasybih.
Adapun jika dia mengatakan sebagaimana Allah ﷻ berfirman, bahwa Allah ﷻ
memiliki tangan, pendengaran, dan penglihatan tanpa menyatakan bagaimana
hakikatnya serta tidak menyamakannya dengan sifat makhluk, maka hal ini
tidak termasuk tasybih dan ini sesuai dengan firman Allah ﷻ, ‘Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Maha Melihat.” (QS Asy-Syuraa : 11) ([2])
Kesimpulan dari pernyataan At-Tirmidzi di atas:
- Pertama: Manhaj Ahlusunah, yaitu manhaj para ulama adalah mengimani ayat-ayat sifat dan juga hadis-hadis sifat tanpa menanyakan bagaimananya.
- Kedua: Manhaj Jahmiyah adalah menafsirkan ayat-ayat sifat tersebut tidak sebagaimana penafsiran para ulama, seperti menyatakan bahwa Allah ﷻ tidak punya tangan, Allah ﷻ tidak pernah menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam dengan tangan-Nya, namun makna tangan adalah kekuatan atau kenikmatan.
- Ketiga: Jahmiyah menakwil ayat-ayat sifat tersebut karena takut terjerumus dalam tasybih, akan tetapi para ulama menjelaskan bahwa yang dinyatakan tasybih adalah jika menyatakan bahwa sifat Allah ﷻ seperti sifat makhluk.
Oleh
karena itu, Ahlusunah menetapkan seluruh sifat-sifat Allah ﷻ yang
ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah sesuai dengan keagungan-Nya.
Dimana hal ini dibangun di atas dua hal:
Pertama: Tidak berharap mengetahui sifatnya secara hakiki
Ketika
bertemu dengan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah ﷻ maka hal yang
paling pertama dilakukan oleh seorang Ahlusunah adalah memutuskan segala
harapannya untuk mengetahui bagaimana hakikat dari sifat-sifat Allah ﷻ
tersebut. Hal ini karena,
- Pembicaraan tentang sifat adalah cabang dari pembicaraan tentang dzat
Berdasarkan
kaidah ini, maka sebagaimana Dzat Allah ﷻ tidak diketahui maka tentu
kaifiah sifat Allah ﷻ lebih tidak diketahui, karena pembicaraan tentang
sifat adalah cabang dari pembicaraan tentang dzat.
Contoh
lainnya, ruh. Tidak ada seorang pun yang mengetahui bagaimana dzat ruh
dan dia terbuat dari apa. Andai didatangkan seribu ahli dan mencoba
berbicara tentang ruh, niscaya akan muncul pula seribu pendapat tentang
ruh tersebut. Sebagaimana dzat ruh tidak diketahui, demikian pula
sifat-sifat tersebut tidak akan diketahui kecuali hanya beberapa saja
yang dikabarkan oleh Nabi di dalam hadis.
Sehingga
jika ruh saja yang diyakini adanya dan dekat dengan kita tetapi
kaifiahnya tidak diketahui maka bagaimana lagi dengan Dzat Al-Khaliq
(Sang Pencipta). Lebih dari itu, apabila Dzat Khaliq saja tidak
diketahui maka bagaimana lagi dengan sifat-sifat-Nya. Dari sini, maka
seseorang tidak mungkin mengetahui bagaimana istiwa’ Allah ﷻ, bagaimana
turunnya Allah ﷻ, dan sifat-sifat lainnya.
- Persamaan dalam nama dan sifat tidak mengharuskan kesamaan pada hakikat pemilik nama dan sifat tersebut
Kaidah
ini berlaku dalam segala hal. Kita melihat gajah memiliki tangan, kaki,
dan mulut, demikian pula kucing juga memiliki hal yang sama, tetapi
kita saksikan kedua makhluk tersebut benar-benar berbeda. Apabila
persamaan pada nama dan sifat untuk kedua makhluk tidak mengharuskan
kesamaan pada hakikatnya (padahal keduanya sama-sama makhluk), maka
bagaimana lagi dengan perbandingan antara makhluk dan Sang Khaliq yaitu
Allah ﷻ, tentu lebih mustahil untuk memiliki kesamaan. Ditambah lagi
Allah ﷻ juga menafikan hal tersebut di dalam Al-Qur’an.
Misalnya di dalam masalah penglihatan dan pendengaran, Allah ﷻ berfirman tentang Diri-Nya,
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Allah ﷻ memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya
Allah ﷻ adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa: 58)
Allah ﷻ kemudian berfirman tentang manusia,
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang
Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami
jadikan dia mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan: 2)
Lalu
Allah ﷻ menafikan kesamaan antara diri-Nya Yang Maha Mendengar lagi
Maha Melihat dengan makhluk yang mendengar dan yang melihat. Allah ﷻ
berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
Allah
ﷻ adalah Yang Maha Mendengar, adapun manusia pendengarannya terbatas.
Manusia tidak bisa mendengar dari jarak jauh, adapun Allah ﷻ mendengar
segalanya, bahkan pembicaraan dalam hati Allah ﷻ juga mendengarnya.
Seseorang apabila dihadapkan dengan tiga orang saja lalu mereka bertiga
berbicara secara bersamaan kepadanya, maka dia tidak akan bisa menangkap
pembicaraan mereka semua secara sekaligus. Adapun Allah ﷻ, jutaan
manusia di Padang ‘Arafah yang berdoa dalam satu waktu, semuanya bisa
didengar oleh Allah ﷻ.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam kitabnya Risalah Tadmuriyyah
memberikan contoh tentang na’imul jannah (kenikmatan surga), yaitu
tentang perbandingan antara makhluk-makhluk Allah ﷻ di surga dengan
makhluk-makhluk Allah ﷻ di dunia. Allah ﷻ mengabarkan bahwa di surga ada
makanan, minuman, pakaian, para istri, buah-buahan, daging, khamar,
susu, madu, air, perhiasan dari emas, perak, mutiara dan lainnya.
Nama-nama tersebut juga ada wujudnya di dunia dari sisi makna, akan
tetapi berbeda dengan yang ada di akhirat dari sisi hakikatnya.
Tentang kesamaannya dari sisi makna adalah karena Allah ﷻ berfirman,
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).” (QS. Az-Zukhruf: 3)
Penamaan
yang diberikan oleh Allah ﷻ untuk nama benda-benda tersebut baik yang
ada di dunia ataupun yang ada di surga adalah sama, sebab sama-sama
menggunakan bahasa Arab, sehingga semuanya bisa dimaknai dalam satu
makna.
Akan tetapi dari sisi hakikat benda-benda yang memiliki kesamaan nama tersebut berbeda, dimana Allah ﷻ berfirman,
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا أُخْفِيَ لَهُم مِّن قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Tak
seorang pun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah
dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan.”
(QS. As-Sajadah: 17)
Juga firman Allah ﷻ dalam hadis qudsi,
أَعْدَدْتُ لِعِبَادِي الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
“Aku
telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang saleh sesuatu yang belum
pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan tidak pernah
terlintas di benak manusia.” ([3])
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
لا يُشْبِهُ شَيءٌ مِمَّا فِي الْجَنَّةِ مَا فِي الدُنْيَا إِلَّا فِي الأَسْمَاءِ
“Tidak ada yang serupa antara apa yang ada di surga dengan apa yang ada di dunia, selain nama.” ([4])
Jika
saja sesama makhluk memiliki suatu sifat yang sama namanya namun
ternyata hakikatnya berbeda, maka perbedaan hakikat antara makhluk dan
Khaliq tentu lebih nyata.
Mengapa Tidak Bisa Mengetahui Hakikat Allah ﷻ?
Untuk mengetahui hakikat sesuatu, harus dengan salah satu dari 3 cara:
Melihat langsung
Mengetahui
hakikat Allah ﷻ dengan cara pertama ini tidak mungkin terwujud di
dunia, karena Allah ﷻ tidak mungkin dilihat melainkan di akhirat kelak.
تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada seorang pun di antara kamu yang bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.”([5])
Hal
ini dikarenakan kemampuan mata kita terbatas. Mata kita tidak kuat
untuk melihat cahaya Allah ﷻ, bagaimana lagi dengan melihat Allah ﷻ.
Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam meminta untuk melihat Allah ﷻ di dunia
beliau pun pingsan. Allah ﷻ berfirman,
وَلَمَّا
جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي
أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ
فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ
لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ
سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah
Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau’. Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’. Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang
yang pertama-tama beriman’.” (QS. Al-A’raf: 143)
Demikian
juga Nabi Muhammad ﷺ tatkala mikraj yang mana pada saat itu Nabi
Muhammad ﷺ sudah sangat dekat dengan Allah ﷻ, namun beliau tidak bisa
melihat Allah ﷻ. Ketika beliau ditanya “Apakah engkau melihat Rabb-mu?”.
Beliau berkata نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ “Ada cahaya bagaimana aku bisa melihat-Nya.” ([6])
Namun
pada hari kiamat kelak tatkala kaum mukminin dibangkitkan maka mereka
bisa melihat Rabb mereka di surga. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
“Kalian akan melihat Rabb kalian secara langsung (dengan mata kepala).” ([7])
Sehingga cara pertama tidak mungkin untuk dilakukan.
Melihat yang semisalnya
Mengetahui
hakikat Allah ﷻ dengan cara kedua ini juga tidak mungkin terwujud
karena Allah ﷻ tidak punya yang semisal dengan-Nya untuk
diperbandingkan. Allah ﷻ berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syura: 11)
- Dikabarkan oleh sumber berita yang terpercaya
Cara
ini adalah satu-satunya cara yang memungkinkan, dan akan berhenti
sejauh kabar tersebut. Jika Allah ﷻ dan Nabi-Nya mengabarkan bahwa Allah
ﷻ punya tangan, punya kaki, dua mata, dan seterusnya dari sifat-sifat
yang dikabarkan oleh Allah ﷻ dan Nabi-Nya di dalam Al-Qur’an dan hadis
maka kita tetapkan sampai kadar tersebut tanpa mengurangi dan menambah.
Jika Allah ﷻ dan Nabi Muhammad ﷺ mengabarkan bahwa Allah ﷻ punya
sifat-sifat tersebut maka kita tetapkan nama beserta maknanya sesuai
konsekuensi bahasa Arab, tetapi karena Allah ﷻ dan Nabi Muhammad ﷺ tidak
mengabarkan kaifiah sifat Allah ﷻ tersebut maka membagaimanakannya
adalah terlarang.
Kesimpulannya,
mengetahui hakikat kaifiah Allah ﷻ adalah sesuatu yang mustahil untuk
dilakukan, begitu pula membayangkannya. Khayalan tidak mungkin sampai
pada kadar tersebut. Hal ini karena pengkhayalan terhadap sesuatu
dibangun di atas kias/analogi atas data yang sudah ada di dalam memori
kita. Sementara data yang masuk ke memori kita di antaranya melalui
indra penglihatan dan pendengaran, dan yang masuk ke memori kita
semuanya adalah data tentang makhluk yang kita lihat dan kita dengar.
Dengan demikian daya khayal kita tentang kaifiah dzat Allah ﷻ dan
sifat-sifat-Nya pasti keliru karena data yang kita miliki dalam memori
kita yang akan kita gunakan sebagai sandaran beranalogi hanyalah data
tentang makhluk yang penuh dengan keterbatasan. Selain itu juga, Allah ﷻ
telah menafikan kemungkinan untuk melihatnya langsung dan juga
menafikan adanya Dzat yang semisal dengan-Nya. Dengan demikian, harapan
untuk mengetahui hakikat Allah ﷻ lebih baik diputuskan dari awal, karena
itu tidak mungkin terwujud.
Kedua: Tidak melakukan Ta’thil, Tahrif, Tamtsil, dan Takyif
Ta’thil (penolakan)
Yaitu
menolak sifat-sifat itu pada Allah ﷻ. Seperti yang dilakukan oleh sekte
al-Jahmiyah dan Muktazilah, mereka menolak seluruh sifat yang ada pada
Allah ﷻ, dengan dalih bahwa menetapkannya bisa menjerumuskan ke dalam
kesyirikan. Demikian juga Asya’iroh yang menolak seluruh sifat kecuali
hanya tujuh sifat karena selian tujuh sifat jika ditetapkan maka akan
menyebabkan tasybih Allah kepada makhluk atau menyebabkan tajsiim (Allah
merupakan jism).
Tahrif (menyimpangkan)
Tahrif ada dua:
Tahrif pada lafaz
Seperti sebagian ahli bid’ah yang mengubah lafaz Al-Qur’an,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah ﷻ benar-benar berbicara dengan Musa.” (QS. An-Nisa: 164)
Diubah menjadi وكلم اللهَ موسى تكليما yang
artinya, “Dan sungguh benar-benar Musa ‘alaihissalam berbicara kepada
Allah ﷻ”. Mereka merubah lafaz tersebut karena mereka mengingkari sifat
“berbicara” Allah ﷻ. Akhirnya mereka merubah lafaz tersebut agar yang
berbicara bukanlah Allah ﷻ akan tetapi Musa ‘alaihissalam.
Akan tetapi Tahrif pada lafaz saat ini sudah tidak ditemukan lagi.
Tahrif pada makna (disebut juga takwil)
Seperti sebagian ahli bid’ah yang men-tahrif makna اِسْتَوَى istawa (di atas) dengan اِسْتَوْلَى istaula (menguasai), الْيَدُ al-yad (tangan) dengan الْقُوَّةُ al-quwwah (kekuatan).
Tamtsil (menyamakan)
Yaitu
menyamakan sifat yang ada pada Allah ﷻ dengan sifat yang ada pada
makhluk-Nya. Seperti perkataan sebagian ahli bid’ah, “Tangan Allah ﷻ
seperti tangan si fulan”. Penyimpangan jenis ini juga jarang terjadi di
zaman ini.
Takyif (membagaimanakan)
Yaitu
menggambarkan sifat Allah ﷻ dengan suatu sifat yang dimaklumi.
Perbedaan antara tamtsil dengan takyif, perbuatan tamtsil berarti
membandingkannya dengan makhluk yang lain (al-mumaatsal bihi), adapun
takyif tidak dilakukan perbandingan dengan yang lain.
Diagram hubungan antara penyimpangan-penyimpangan tersebut:
Hubungan
antara ke empat jenis penyimpangan ini yaitu: Apabila seseorang
men-tamtsil maka dia telah men-takyif, namun tidak sebaliknya. Apabila
seseorang men-takyif maka dia telah men-tahrif, namun tidak sebaliknya.
Apabila seseorang men-tahrif maka dia telah men-ta’thil, namun tidak
sebaliknya.
Kaidah Kelaziman (Konsekuensi)
كُلُّ مُعَطِّلٍ مُشَبِّهٌ (seluruh penolak sifat berarti dia telah menyerupakan)
Hal
ini karena sebelum dia menolak dia pasti menyerupakan Allah ﷻ terlebih
dahulu dengan selain-Nya. Seperti ahli bid’ah yang menolak istiwa’ Allah
ﷻ di atas Arasy lalu men-tahrif ke makna istaula (menguasai). Hal itu
mereka lakukan karena sebelum mereka men-tahrif hakikatnya mereka telah
menyerupakan Allah ﷻ dengan selain-Nya. Mereka menganggap bahwa jika
Allah ﷻ ber-istiwa’ di atas sebuah tempat maka Allah ﷻ butuh kepada
tempat tersebut, atau jika tempat tersebut jatuh maka Allah ﷻ juga akan
jatuh sebagaimana jika seorang manusia duduk di atas sebuah kursi. Tentu
ini adalah bentuk menyerupakan Allah ﷻ dengan makhluk, sehingga dia
kemudian menolak makna istiwa’ lalu men-tahrif ke istaula (menguasai).
Anggapan
seperti ini mudah untuk dibantah dengan mengatakan bahwa tidak semua
yang di atas itu butuh dengan yang di bawah. Sebagaimana tidak butuhnya
langit terhadap bumi yang ada di bawahnya, tentu Allah ﷻ lebih tidak
butuh kepada yang di bawahnya. Allah ﷻ berfirman,
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya.” (QS. Luqman: 10)
Bagaimana Allah membutuhkan langit sementara langit yang membutuhkan langit agar tidak bergeser. Allah berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ
زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ
حَلِيمًا غَفُورًا
Sesungguhnya
Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika
keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya
selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun
(Fathir : 41)
Bagaimana
mau dibayangkan bahwa langit meliputi dan menaungi Allah sementara
langit begitu sangat kecil dibandingkan dengan kebesaran Allah. Allah
berfirman:
وَمَا
قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit
digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan (QS Az-Zumar : 67)
كُلُّ مُشَبِّهٍ مُعَطِّلٌ (setiap orang yang menyerupakan Allah ﷻ dengan selain-Nya berarti dia telah menolak sifat Allah ﷻ)
Hal
ini karena ketika ia menyamakan Allah ﷻ dengan makhluk maka berarti ia
telah menolak makna dan sifat yang benar yang seharusnya ditetapkan bagi
Allah ﷻ. Karenanya, semua yang menyimpang dalam sifat Allah ﷻ pasti
Mu’atthil, yaitu pasti menolak makna yang benar terhadap sifat Allah ﷻ
-sebagaimana bisa kita lihat pada diagram di atas-.
KAIDAH KETIGA:
Manhaj Ahlusunah terhadap ayat-ayat sifat:
- Menetapkan sifat yang ditetapkan dalil,
- Menolak sifat yang dinafikan dalil, dan
- Abstain terhadap sifat-sifat yang tidak ditetapkan dan juga tidak ditolak dalil hingga jelas maksudnya
Secara umum, berkaitan dengan ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah ﷻ maka dalam hal ini ada tiga bentuk:
A. Sifat-sifat yang Ditetapkan Oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
Yaitu
ditetapkan maknanya, tanpa diketahui kaifiahnya (bagaimananya), yaitu
dengan tanpa ta’thil, tahrif, tamtsil, dan takyif (sebagaimana telah
lalu penjelasannya di atas).
B. Sifat-sifat yang Dinafikan Oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
Sikap
seorang muslim adalah menafikan apa yang dinafikan oleh dalil disertai
dengan menetapkan lawannya secara sempurna. Karena tujuan nas yang
datang dengan bentuk menafikan suatu sifat bukanlah sekedar untuk
menafikannya, tetapi sekaligus mengandung kesempurnaan dari sifat
lawannya.
Contoh:
لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ
“(Dia) tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Allah
ﷻ tidak mengantuk dan tidak tidur, maka tujuan Allah ﷻ dari menafikan
sifat mengantuk dan tidur tersebut bukan semata hanya sekedar menafikan
kedua sifat kekurangan tersebut, akan tetapi maksudnya adalah
menjelaskan kesempurnaan Allah ﷻ yang memiliki sifat sempurna yang
berlawanan terhadap kantuk dan tidur, yaitu Allah ﷻ Maha terjaga.
Misalnya juga firman Allah ﷻ,
وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ
“Dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan.” (QS. Qaf: 38)
Allah
ﷻ tidak letih, maka tujuan dari penafian sifat lelah adalah untuk
menetapkan sifat lawannya yang sempurna, yaitu Allah ﷻ Maha kuat.
Demikian pula firman Allah ﷻ,
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ
“Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menzalimi hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat: 46)
Allah
ﷻ tidak zalim, maka tujuan dari penafian sifat zalim tersebut adalah
untuk menetapkan sifat lawannya secara sempurna, yaitu Allah ﷻ Maha
adil.
Penafian Sifat Mengandung Penetapan Sifat Sebaliknya
Mengapa
penafian pada sifat-sifat Allah ﷻ pada ayat-ayat dan hadis-hadis
tidaklah bermakna penafian murni semata tetapi sekaligus mengandung
penetapan kesempurnaan? Hal itu karena beberapa pertimbangan berikut:
Pertama,
karena kalimat penafian semata tidak mesti berkonsekuensi bahwa itu
adalah pujian, yang dipuji adalah sesuatu yang ditetapkan. Seperti
perkataan kita kepada orang lain, “Anda tidak zalim.” Perkataan ini
bukanlah pujian, tetapi akan menjadi pujian jika yang dimaksud adalah
menetapkan kebalikan dari zalim untuknya, yaitu ia adalah seorang yang
adil.
Kedua, penafian dilakukan bisa jadi karena memang tidak layak apabila sifat tersebut ditetapkan untuknya (عَدَمُ الْقَابِلِيَّةِ).
Seperti perkataan, “Dinding ini tidak zalim”, perkataan itu muncul
karena memang dinding tidak bisa berlaku zalim, bahkan dia pun tidak
bisa berlaku adil. Maka pernyataan “Dinding tidak zalim” bukanlah pujian
kepada dinding.
Ketiga,
penafian dilakukan bisa jadi karena memang dia tidak mampu untuk
bersifat dengan sifat tersebut. Seperti perkataan seorang penyair:
قُبَيِّلَةُ لَا يَغْدِرُوْنَ بِذِمَّةٍ … وَلَا يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ حَبَّةَ خَرْدَلٍ
Kabilah kecil tidak berkhianat sama sekali
Dan tidak menzalimi manusia sedikit pun
Tentu
ini bukan merupakan pujian karena mereka memang tidak mampu berbuat
zalim sebab mereka hanyalah kaum yang kecil. Berbeda dengan kalimat,
“Penguasa tersebut tidak berbuat zalim”, maka ini adalah pujian karena
pada dasarnya penguasa mampu berbuat zalim tetapi dia tidak
melakukannya.
C. Sifat-sifat yang Didiamkan Oleh Dalil
Apabila
terdapat sifat-sifat yang tidak datang dalam dalil atau dalil tidak
menetapkannya dan tidak pula menafikannya, maka dilakukan beberapa
langkah berikut:
- Tidak menetapkan sifat-sifat tersebut secara asalnya. Namun perlu adanya sikap menghadapi para penyelisih yang menggunakan lafaz-lafaz sifat-sifat tersebut.
- Ditanyakan apa maksudnya (istifsaar)
- Jika maknanya sesuai dengan dalil maka maknanya ditetapkan, jika tidak sesuai maka tidak ditetapkan
Contoh:
Pertama : Sifat الْجِهَّةُ (arah)
yang dinafikan oleh sebagian kelompok, sifat ini tidak ditetapkan dan
tidak pula dinafikan oleh dalil, maka hendaknya Ahlusunah tidak
menggunakan lafaz ini dalam menjelaskan sifat-sifat Allah ﷻ, akan tetapi
Ahlusunah hendaknya menggunakan lafaz-lafaz yang syarí yang datang
dalam dalil, seperti عَلَى atau فَوْقُ “di atas”. Namun karena lafaz الْجِهَّةُ digunakan oleh para penolak sifat maka terpaksa Ahlusunah menyikapi mereka dengan memperinci apa maksud dari lafaz الْجِهَّةُ tersebut?:
Jika maksudnya adalah Allah ﷻ tidak ber-jihah (berarah) yaitu جَهَةٌ عَدَمِيَّةٌ hanya
sekedar arah, bukan suatu ruang yang menaungi Allah ﷻ, bahwasanya Allah
ﷻ di luar alam, jika maksudnya demikian maka kita katakan bahwa Allah ﷻ
di jihah.
Jika maksudnya jihah جِهَةٌ وُجُوْدِيَّةٌ yaitu arah yang di situ ada ruangan atau tempat yang meliputi Allah ﷻ maka kita katakan Allah ﷻ tidak di jihah.
Kedua : Sifat الْجِسْمُ (al-Jism)
yang dinafikan oleh sebagian kelompok, sifat ini tidak ditetapkan dan
tidak pula dinafikan oleh dalil, maka hendaknya diperinci apa
maksudnya?:
- Jika maksudnya adalah tubuh yang berdaging maka ditolak.
- Jika maksudnya adalah Dzat maka diterima karena Allah ﷻ ber-Dzat.
KAIDAH KEEMPAT
بَابُ الإِخْبَارِ أَوْسَعُ مِنْ بَابِ الصِّفَاتِ، وَبَابُ الصِّفَاتِ أَوْسَعُ مِنْ بَابِ الأَسْمَاءِ
Pembahasan
tentang ikhbar (pengabaran) lebih luas dari pada pembahasan tentang
sifat Allah ﷻ dan pembahasan tentang sifat Allah ﷻ lebih luas dari pada
pembahasan tentang nama Allah ﷻ
Setiap
nama mengandung sifat, tetapi tidak semua sifat bisa dijadikan nama,
karena ada sifat-sifat Allah ﷻ yang tidak bisa menjadi nama. Demikian
pula ikhbar (pengabaran) terhadap Allah ﷻ baik yang ada dalilnya maupun
tidak, selama tidak melanggar syariat. Sehingga kesimpulannya, ikhbar
(pengabaran) lebih luas karena tidak harus berasal dari dalil sedangkan
nama dan sifat lebih sempit karena harus berasal dari dalil. Dan ikhbar
tentang Allah ﷻ tidak mesti tentang nama Allah ﷻ dan juga tidak mesti
tentang sifat Allah ﷻ.
Telah
berlalu contoh-contoh dari nama-nama dan sifat-sifat Allah ﷻ, adapun di
antara contoh pengabaran yaitu seperti perkataan seseorang ketika
berdoa “Ya Mufahhima Sulaiman” (Wahai Yang memahamkan Nabi Sulaiman!),
atau dalam ayat,
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ
“Katakanlah, ‘Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?’ Katakanlah: ‘Allah ﷻ’.” (QS. Al-An’am: 19)
Allah ﷻ menyebut diri-Nya dengan شَيْءٍ yang makna asalnya adalah “sesuatu”.
Adapun
jika tidak benar dalam pengabaran atau bertentangan dengan dalil maka
tidak boleh mengabarkan Allah ﷻ dengan kabar tersebut. Contoh pengabaran
yang salah seperti perkataan “Allah ﷻ bermesraan dengan fulan”, karena
kata bermesraan mengandung makna konotasi yang buruk.
KAIDAH KELIMA
الصِّفَاتُ -مِنْ حَيْثُ الثُّبُوْتُ وَالنَّفْيُ- تَنْقَسِمُ إِلَى صِفَاتٍ مَنْفِيَّةٍ وَصِفَاتٍ ثُبُوْتِيَّةٍ
وَالصِّفَاتُ
الثُّبُوْتِيَّةُ مِنْ حَيْثُ تَعَلُّقُهَا بِمَشِيْئَةِ اللهِ تَنْقَسِمُ
إِلَى صِفَاتٍ ذَاتِيَّةٍ وَصِفَاتٍ فِعْلِيَّةٍ وَصِفَاتٍ ذَاتِيَّةٍ
فِعْلِيَّةٍ
Sifat-sifat Allah ﷻ terbagi menjadi sifat manfiyyah dan sifat tsubutiyyah
Dan
sifat-sifat tsubutiyah -ditinjau dari keterkaitannya dengan kehendak
Allah ﷻ– terbagi menjadi (1) sifat dzatiyyah, (2) sifat fi’liyyah, dan
(3) sifat dzatiyyah fi’liyyah.
- Sifat-sifat manfiyyah yaitu sifat yang dinafikan dari Allah ﷻ seperti sifat mengantuk, tidur, zalim, dan lain-lain
- Sifat-sifat tsubutiyyah yaitu sifat yang ditetapkan untuk Allah ﷻ. Sifat ini terbagi menjadi dua:
- Sifat dzatiyyah, yaitu sifat-sifat yang tidak berkaitan dengan kehendak-Nya artinya Allah ﷻ senantiasa dan selamanya bersifat dengan sifat tersebut. Contoh : tangan, wajah, dua mata, al-‘uluww (ketinggian), dan lain-lain.
- Sifat fi’liyyah, yaitu sifat-sifat yang berkaitan dengan kehendak-Nya, jika Allah ﷻ berkehendak maka Allah ﷻ lakukan dan jika Allah ﷻ tidak berkehendak maka Allah ﷻ tidak lakukan. Contoh : al-Gadhab (murka), rahmat, nuzul (turun), istiwa’, ad-Dhahik (tertawa), dan lain-lain.
- Sifat dzatiyyah fi’liyyah, yaitu sifat-sifat yang tidak berkaitan dengan kehendak-Nya tetapi sekaligus bisa berkaitan dengan kehendak-Nya. Contoh : sifat al-Kalam (berbicara), jika ditinjau dari asalnya maka al-Kalam itu qadim (sejak azali) sehingga saat itu sifat al-Kalam menjadi sifat dzatiyyah, namun jika ditinjau dari satuan pembicaraannya maka al-Kalam adalah sifat fi’liyyah, kapan Allah ﷻ ingin berbicara maka Allah ﷻ akan berbicara. Demikian juga sifat as-Sama’ (mendengar) dan al-Bashar (melihat) ([8]).
KAIDAH KEENAM
القَوْلُ فِي الصِّفَاتِ فَرْعٌ عَنِ الْقَوْلِ فِي الذَّاتِ
Pembahasan tentang sifat merupakan turunan dari pembahasan dzat
Sebagaimana
kita tidak mengetahui kaifiah Dzat Allah ﷻ maka demikian pula kita
tidak akan mengetahui kaifiah sifat. Kaifiah sifat tangan Allah ﷻ tidak
mungkin diketahui karena Dzat Allah ﷻ tidak diketahui, kaifiah sifat
istiwa’ Allah ﷻ tidak mungkin diketahui karena Dzat Allah ﷻ tidak
diketahui. (sebagaimana telah disinggung pada kaidah kedua)
KAIDAH KETUJUH
الْقَوْلُ فِي بَعْضِ الصِّفَاتِ كَالْقَوْلِ فِي الْبَعْضِ الآخَرِ
Pembahasan tentang sebagian sifat sama dengan pembahasan tentang sifat lainnya
Kaidah ini untuk membantah sebagian ahli bid’ah yang menetapkan sebagian sifat namun menolak sebagiannya.
Contoh:
mereka menolak sifat mahabbah (cinta) karena sifat mahabbah adalah
sifat manusia, namun mereka menetapkan sifat iradah (berkehendak).
Bantahannya
: Manusia juga bisa bersifat dengan iradah, tetapi sebagaimana iradah
manusia tidak sama dengan iradah Allah ﷻ, maka demikian pula mahabbah
manusia berbeda dengan mahabbah Allah ﷻ.
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_________
([1]) HR. Bukhari No. 3191.
([2]) HR. Tirmidzi No. 662.
([3]) HR. Bukhari No. 3244 dan Muslim No. 2824.
([4]) Tafsir Ibn Katsir (1/205).
([5]) HR. Muslim No. 169.
([6]) HR. Muslim No. 178.
([7]) HR. Bukhari No. 7435.
([8])
Catatan : Namun bedanya jika sifat kalam, maka bisa kita katakan Allah ﷻ
jika berkehendak maka Allah ﷻ berbicara, dan jika tidak berkehendak
maka Allah ﷻ tidak berbicara. Seperti ketika di zaman Azali, ketika
Allah ﷻ belum menciptakan makhluk Allah ﷻ tidak berbicara dengan siapa
pun. Setelah menciptakan makhluk maka Allah ﷻ berbicara dengan siapa
saja dari makhluk-Nya yang Allah ﷻ kehendaki, apakah berbicara dengan
malaikat, atau para nabi dan rasul. Begitu juga, jika Allah ﷻ tidak
berkehendak maka Allah ﷻ tidak berbicara dengan makhluk-Nya
Adapun
sifat mendengar dan melihat maka Allah ﷻ senantiasa selalu melihat dan
mendengar jika ada yang didengar atau dilihat. Maka tidak dikatakan jika
Allah ﷻ berkehendak Allah ﷻ melihat, jika tidak maka Allah ﷻ tidak
melihat, atau jika Allah ﷻ berkehendak Allah ﷻ mendengar dan jika Allah ﷻ
berkehendak maka Allah ﷻ tidak mendengar. Akan tetapi hawadits (sesuatu
yang baru) berkaitan dengan objek yang Allah ﷻ dengar dan yang Allah ﷻ
lihat, yang objek tersebut berkaitan dengan pendengaran dan penglihatan
Allah ﷻ. Maka dari sini terjadi hawadits pula pada pendengaran dan
penglihatan Allah ﷻ ditinjau dari berubahnya apa yang didengar dan
dilihat Allah ﷻ.
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/