Sejarah Muncul Bid’ah-bid’ah Penolakan Sifat-sifat Allah ﷻ – Al-Asma’ wa Ash-Shifat (3)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Sesungguhnya
Nabi telah menjelaskan secara detail segala sesuatu yang diperlukan
oleh seorang hamba, tidak ada satu pun amalan yang mendekatkan kepada
Allah ﷻ kecuali telah Nabi Muhammad ﷺ jelaskan, demikian pula tidak ada
satu pun amalan yang menjauhkan dari neraka Jahanam kecuali telah Nabi
Muhammad ﷺ jelaskan. Bahkan perkara-perkara yang dianggap sepele, mulai
dari adab makan, adab buang hajat, adab berhubungan suami istri, dan
seterusnya secara sempurna diajarkan oleh Nabi. Sungguh benar firman
Allah ﷻ,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al-Maidah : 3)
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata,
تَرَكَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ
فِيْ الْهَوَاءِ، إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ:
فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ
مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Rasulullah
ﷺ telah meninggalkan kita, tidaklah seekor burung mengepak-epakkan
kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya.” Abu
Dzar radhiallahu ‘anhu melanjutkan: Rasulullah ﷺ pun telah bersabda,
‘Tidak tersisa sedikit pun apa-apa yang mendekatkan ke surga dan
menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan kepada kalian’.” ([1])
Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
(QS At-Taubah : 128
Nabi Muhammad ﷺ disifatkan dengan حَرِيصٌ عَلَيْكُم,
yaitu bersemangat untuk menjelaskan segala kebenaran dan kebatilan
untuk umatnya. Dari sini, tidak mungkin Nabi Muhammad ﷺ hanya
menjelaskan adab makan, adab buang hajat, adab berhubungan suami istri,
dan seterusnya sedangkan perkara-perkara yang lebih urgen seperti tauhid
al-Asma’ wa ash-Shifat tidak diajarkan.
Dengan
demikian, perkara akidah merupakan perkara yang paling gamblang yang
telah dijelaskan oleh Nabi. Sehingga akidah yang diajarkan dan
dijelaskan secara rinci oleh Nabi Muhammad ﷺ tidak membutuhkan lagi
tambahan yang sulit dari ahli filsafat, ahli kalam, dan ahli bid’ah
lainnya, melainkan cukup diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagaimana yang dipahami oleh para sahabat dan para salaful ummah. Oleh
karena itu, tidak dijumpai perselisihan di antara para sahabat dalam
masalah akidah terkhusus dalam masalah tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَلِهَذَا
كَانَ مَا فَهِمَهُ الصَّحَابَةُ مِنَ الْقُرِآنِ أَوْلَى أَنْ يُصَارَ
إِلَيْهِ مِمَّا فَهِمَهُ مَنْ بَعْدَهُمْ فَانْضَافَ حُسْنُ قَصْدِهِمْ
إِلَى حُسْنِ فَهْمِهِمْ فَلَمْ يَخْتَلِفُوا فِي التَّأْوِيْلِ فِي بَابِ
مَعْرِفَةِ اللهِ وَصِفَاتِهِ وَأَسْمَائِهِ وَأَفْعَالِهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ وَلاَ يُحْفَظُ عَنْهُمْ فِي ذَلِكَ خِلاَفٌ لاَ مَشْهُوْرٌ وَلاَ
شَاذٌّ، فَلَمَّا حَدَثَ بَعْدَ انْقِضَاءِ عَصْرِهِمْ مَنْ سَاءَ فَهْمُهُ
وَسَاءَ قَصْدُهُ وَقَعُوا فِي أَنْوَاعٍ مِنَ التَّأْوِيْلِ بِحَسَبِ
سُوْءِ الْفَهْمِ وَفَسَادِ الْقَصْدِ وَقَدْ يَجْتَمِعَانِ وَقَدْ
يَنْفَرِدَانِ وَإِذَا اجْتَمَعَا تَوَلَّدَ مِنْ بَيْنِهِمَا جَهْلٌ
بِالْحَقِّ وَمُعَادَاةٍ لِأَهْلِهِ وَاسْتِحْلاَلِ مَا حَرَّمَ اللهُ
مِنْهُمْ.
“Karenanya
apa yang dipahami oleh para sahabat terhadap Al-Qur’an lebih utama
untuk dijadikan rujukan daripada pemahaman orang-orang setelah mereka.
Maka tergabungkanlah niat baik mereka (para sahabat) dengan baiknya
pemahaman mereka, sehingga mereka tidak berselisih dalam penafsiran
dalam pembahasan mengenal Allah ﷻ, sifat-sifat-Nya, nama-nama dan
perbuatan-perbuatan-Nya. Demikian juga dalam permasalahan hari akhirat.
Tidak dinukilkan dari mereka dalam perkara-perkara tersebut adanya
perselisihan pada mereka, tidak juga khilaf yang masyhur maupun yang
syadz. Tatkala setelah berlalu generasi mereka muncullah orang-orang
yang buruk pemahamannya dan juga buruk niatnya (maksud dan tujuannya)
maka terjerumuslah dalam berbagai macam takwil berdasarkan buruknya
pemahaman dan buruknya niat. Terkadang kedua faktor ini terkumpul dan
terkadang salah satunya saja. Jika kedua faktor tersebut terkumpul maka
muncullah dari mereka kejahilan akan kebenaran dan juga sikap memusuhi
ahlul hak (yang di atas kebenaran) serta muncul sikap menghalalkan apa
yang Allah ﷻ haramkan.”([2])
Oleh
karena itu, perkara akidah pada dasarnya adalah perkara yang mudah dan
gamblang. Hingga datang masa di akhir-akhir masa Khulafaur Rasyidin,
mulailah muncul penyimpangan-penyimpangan dan penolakan-penolakan
terhadap sifat Allah ﷻ dengan berbagai macam syubhatnya yang
mengharuskan kita untuk mempelajari syubhat-syubhat tersebut dengan
tujuan untuk membantahnya.
Awal Mula Munculnya Bid’ah Dalam Islam
Sesungguhnya
Nabi Muhammad ﷺ telah mengajarkan akidah yang murni kepada para sahabat
hingga beliau wafat. Kemudian para khulafaur rasyidin dan para sahabat
berusaha mempertahankan akidah tersebut, hingga di akhir-akhir masa
khulafaur rasyidin mulailah tumbuh bibit-bibit bid’ah. Hal ini telah
diisyaratkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya,
أُوْصِيْكُمْ
بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ
تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي، عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku
wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah ﷻ Azza wa Jalla,
dan untuk mendengar serta taat (kepada pimpinan) meskipun yang memimpin
kalian adalah seorang budak. Sesungguhnya, barangsiapa yang berumur
panjang di antara kalian (para sahabat), niscaya akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian berpegang teguh pada
sunahku dan sunnah para Khulafa’ur Rasyidun –orang-orang yang mendapat
petunjuk- sepeninggalku. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian.
Dan hati-hatilah kalian, jangan sekali-kali mengada-adakan
perkara-perkara baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah
adalah sesat.” ([3])
Bibit-bibit
bid’ah tersebut mulai tumbuh sejak terbunuhnya khalifah Utsman bin
‘Affan pada tahun 35H, ketika Abdullah bin Saba’ memprovokasi masa untuk
membunuh Útsman bin Áffan radhiallahu ‘anhu dan akhirnya beliau
dikepung oleh ribuan masa, lalu belia pun terbunuh di rumah beliau dalam
kondisi sedang membaca Al-Qur’an. Kemudian di masa kekhilafahan ‘Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mulailah muncul dua jenis bid’ah yaitu
bid’ah khawarij yang memerangi ‘Ali dan bid’ah Rafidhah yang berlebihan
terhadap ‘Ali.
Setelah
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu wafat lalu berlalu masa, di
akhir-akhir masa sahabat shighar junior (zaman sahabat berakhir sekitar
tahun 110 H([4])) mulailah muncul bid’ah Qadariyah yang dipelopori oleh
Ma’bad Al-Juhani, sebagaimana yang disebutkan di awal kitab Shahih
Muslim. Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Ya’mar,
beliau mengatakan,
كَانَ
أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ،
فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ
حَاجَّيْنِ – أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ – فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ
عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ
بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا
وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ،
فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: أَبَا
عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ،
وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ،
قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ
مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ
اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا،
فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ»
“Orang
yang pertama kali berbicara masalah takdir di Bashrah adalah Ma’bad Al
Juhani. Aku dan Humaid bin ‘Abdirrahman kemudian pergi berhaji –atau
‘umrah- dan kami mengatakan, “Seandainya kita bertemu salah seorang
sahabat Rasulullah ﷺ kita akan mengadukan pendapat mereka tentang takdir
tersebut”
Kami
pun bertemu dengan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma yang sedang memasuki
masjid. Lalu kami menggandeng beliau, satu dari sisi kanan dan satu dari
sisi kiri. Aku menyangka sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku
sehingga aku pun berkata kepada Ibnu ‘Umar, “Wahai Abu ‘Abdirrahman
(panggilan Ibnu ‘Umar –pen), sungguh di daerah kami ada sekelompok orang
yang berpandangan takdir itu tidak ada, dan segala sesuatu itu baru ada
ketika terjadinya (tidak tertulis di catatan takdir dan tidak pula
diketahui oleh Allah ﷻ sebelumnya).
Maka
Ibnu ‘Umar berkomentar, “Kalau kamu bertemu dengan mereka, beritahukan
mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri
dariku! Demi Dzat yang Ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya
mereka memiliki emas sebanyak gunung Uhud lantas menginfakkannya,
niscaya Allah ﷻ tidak akan menerima infak mereka tersebut sampai mereka
mau beriman kepada takdir.” ([5])
Pemahaman
Qadariyah tersebut telah dibantah oleh para sahabat junior seperti Ibnu
‘Umar sendiri, Ibnu ‘Abbas, dan selainnya. Namun di kurun waktu ini
belum muncul bid’ah tentang tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat.
Lalu
di zaman Tabiin yaitu pada zaman Hasan Al-Bashri (zaman tabi’in
berakhir sekitar tahun 181 H([6])), mulailah muncul bid’ah berikutnya
yaitu bid’ah Muktazilah yang dipelopori oleh Washil bin ‘Atha yang
merupakan murid Hasan Al-Bashri sendiri. Di antara keyakinan Muktazilah
yaitu pelaku dosa besar di dunia statusnya fi manzilah baina manzilatain
(tidak kafir dan juga tidak mukmin) namun di akhirat statusnya tetap
kekal di neraka. Pemahaman inilah yang dibawa oleh Washil bin ‘Atha
sehingga ia keluar (iítzal) dari majelis Hasan Al-Bashri karena
bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Hasan Al-Bashri yaitu status
pelaku dosa besar itu imannya kurang tetapi tidak kafir dan di akhirat
kelak di bawah kehendak Allah ﷻ, apakah akan diampuni oleh Allah ﷻ atau
diadzab. Inilah Akidah Ahlusunah, dan inilah yang benar sebagaimana
firman Allah ﷻ,
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya
Allah ﷻ tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala
dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah ﷻ, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar.” (QS. An-Nisa : 48)
Karena
Washil bin Átha keluar (i’tizal/menyempal) dari majelis Al-Hasan maka
ia dan para pengikutnya dikenal dengan Muktazilah (golongan yang
menyempal).
Washil
bin Átha kemudian diikuti oleh seorang yang bernama ‘Amr bin ‘Ubaid.
‘Amr bin ‘Ubaid adalah seorang perawi hadis yang ahli ibadah dan zuhud,
sehingga pemahaman ini mulai laris karena manusia tertipu dengan ‘Amr.
Namun bid’ah Muktazilah ini masih belum menyentuh masalah tauhid
al-Asma’ wa ash-Shifat, tetapi masih banyak berputar di permasalahan
status pelaku dosa besar dan bercampur dengan bid’ah Qadariyah.
Awal Mula Muncul Bid’ah dalam Al-Asma’ wa ash-Shifat
Jahmiyah
Bid’ah
penolakan sifat-sifat Allah ﷻ (at-Ta’thil) ditenarkan oleh Al-Jahm bin
Shafwan. Beliau adalah Abu Muhriz, Al-Jahm bin Shafwan As-Samarqandi,
maula Raasib. Seorang filsuf, biang kesesatan, pentolan Jahmiyah, dan ia
adalah seorang yang cerdas dan lihai berdebat. Ia mengingkari seluruh
sifat Allah ﷻ. Ia dibunuh oleh Salm bin Ahwaz Al-Muzani di kota Merv, di
akhir masa kekuasaan Bani Umayyah([7]).
Dialah
yang pertama kali menyebarkan ideologi at-ta’thil di tengah-tengah
umat, di akhir zaman Tabiin, pada masa kekhilafahan Hisyam bin Abdul
Malik([8]). Dialah pendiri sekte Jahmiyah.
Al-Jahm
sendiri mengadopsi ideologi at-Ta’thil dari gurunya, Al-Ja’d bin Dirham
yang dibunuh oleh Khalid bin Abdullah Al-Qasri, gubernur Irak. Imam
Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Muhammad bin
Habib bin Abi Habib, dari ayahnya dari kakeknya berkata,
شَهِدْتُ
خَالِدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْقَسْرِيَّ بِوَاسِطَ، فِي يَوْمِ أَضْحًى،
وَقَالَ: «ارْجِعُوا فَضَحُّوا تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنْكُمْ، فَإِنِّي
مُضَحٍّ بِالْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ، زَعَمَ أَنَّ اللَّهَ لَمْ يَتَّخِذْ
إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَمْ يُكَلِّمْ مُوسَى تَكْلِيمًا، تَعَالَى
اللَّهُ عُلُوًّا كَبِيرًا عَمَّا يَقُولُ الجعد بْنُ دِرْهَمٍ، ثُمَّ
نَزَلَ فَذبَحَهُ»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: قَالَ قُتَيْبَةُ:
«بَلَغَنِي أَنَّ جَهْمًا كَانَ يَأْخُذُ الْكَلَامَ مِنَ الْجَعْدِ بْنِ
دِرْهَمٍ»
“Aku
menyaksikan pada hari raya ‘Idul ‘Adha di kota Wasith, Khalid bin
Abdullah Al-Qashri mengatakan pada manusia, “Kembalilah kalian untuk
menyembelih binatang kurban semoga Allah ﷻ menerimanya. Sesungguhnya aku
akan menyembelih al-Ja’ad bin Dirham, yang menyangka bahwa Allah ﷻ
tidak menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Nya dan Musa tidak berbicara
langsung kepada-Nya, Maha Tinggi Allah ﷻ dari apa yang dikatakan oleh
Ja’ad bin Dirham”.
Kemudian dirinya turun dari mimbar lalu menyembelih Ja’ad bin Dirham.” ([9])
Setelah itu Imam Bukhari berkata,
قَالَ قُتَيْبَةُ: «بَلَغَنِي أَنَّ جَهْمًا كَانَ يَأْخُذُ الْكَلَامَ مِنَ الْجَعْدِ بْنِ دِرْهَمٍ»
“Qutaibah berkata : Telah sampai kepadaku bahwasanya Jahm (bin Shafwan) mengambil ilmu kalam dari al-Ja’d bin Dirham.” ([10])
Sebagian
ahli sejarah mengutarakan bahwa ia bertemu dengan Al-Ja’d di Kufah,
dalam pelariannya dari Bani Umayyah. Ibn Katsir mengisahkan “Al-Ja’d
menetap di Damaskus, dan mencetuskan ideologi bahwa Al-Qur’an adalah
makhluk. Bani Umayyah pun memburunya, ia lantas kabur dan menetap di
Kufah. Di kota itulah ia bertemu dengan Al-Jahm bin Shafwan, yang
kemudian mengadopsi ideologi tersebut darinya” ([11])
Adapun
Al-Ja’d, ia telah mengadopsi ideologi at-Ta’thil dari Aban bin Sam’an,
dan Aban mengambilnya dari Thalut, keponakannya Labid bin Al-A’sham, dan
Thalut mengambilnya dari si penyihir Yahudi Labid Al-A’sham yang telah
menyihir Nabi Muhammad g, sebagaimana keterangan para ulama, di
antaranya adalah Syaikhul Islam([12]), As-Shafadi([13]), Ibnul Atsir
([14]), dan Ibn Katsir([15])
Muktazilah
Selanjutnya pemikiran Jahmiyah dilanjutkan oleh Muktazilah.
Sekte
Muktazilah tumbuh di penghujung kekhilafahan Umawiyyah, dan mencapai
puncak persebarannya pada masa kekhilafahan Abbasiyyah.
Kelompok
ini menjadikan akal sebagai landasan utama nan tunggal dalam memahami
akidah Islam, sesuai dengan pengaruh yang mereka serap dari para filsuf
Yunani dan India.
Dan
perlu diketahui, bahwa generasi awal dari Muktazilah –yang sezaman
dengan Washil dan Amr bin Úbaid- tidaklah membawa pemikiran Jahmiyah.
“Mereka hanyalah memiliki sikap yang sesat dalam persoalan ancaman Allah
ﷻ bagi para pelaku dosa dan mengingkari takdir Allah ﷻ. Adapun ideologi
yang men-ta’thil sifat-sifat Allah ﷻ, ia muncul dalam tubuh mereka
sepeninggal generasi mutaqadimin tersebut.
Oleh
karena itu, Imam Ahmad –rahimahullah- ketika membantah kelompok
Jahmiyah dengan mematahkan dalih Al-Jahm, Beliau mengatakan,
“Kemudian
(Al-Jahm) diikuti oleh sekelompok pengikut Amr bin Ubaid dan selainnya.
Dan ucapan semacam ini –ta’thil sifat Allah ﷻ- juga populer dari Abul
Hudzail Al-Allaf, An-Nadzzam, dan para ahli kalam semisal keduanya.”
([16])
Mazhab
ta’thil itu sendiri tidaklah berkembang pesat semasa hidup Al-Jahm bin
Shafwan, kecuali di beberapa wilayah timur. Namun, ia mulai menguat dan
mengakar setelah terbunuhnya Al-Jahm bin Shafwan. Pemikiran ini semakin
dipopulerkan pada masa kekuasaan Al-Ma’mun (salah satu khalifah dinasti
Abbasiyyah) oleh para penganut ideologi ini, seperti Bisyr Al-Marrisi
(Wafat: 218H), para dai kelompok Muktazilah, seperti Ahmad bin Abi Du’ad
(Wafat: 240H), dan selain keduanya. ([17])
Dan
di antara bukti bahwa Muktazilah sejalan dengan Jahmiyah dalam
menyikapi persoalan sifat-sifat Allah ﷻ, adalah apa yang diriwayatkan
oleh Ibn Asakir, dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al-Gasili, bahwa ia
pernah ditanya:
“Dari siapa Ibnu Abi Du’ad mengadopsi pemikiran tersebut (at-Ta’thil)?”
Ia
(Abu Ishaq) pun menjawab, “Ia berguru kepada Bisyr Al-Marrisi, Bisyr
mengambilnya dari Jahm bin Shafwan, Jahm mengambilnya dari Al-Ja’d bin
Dirham, Al-Ja’d berguru kepada Aban bin Sam’an, Aban mengambilnya dari
Thalut keponakan dan iparnya Labid, dan Thalut berguru kepada si
penyihir Yahudi yang menyihir Nabi g, Labid bin A’sham.” ([18])
Jadi,
Muktazilah lah yang berperan utama dalam menyebarkan dan mempopulerkan
pemikiran Jahmiyah. Oleh karena itu dapat kita saksikan bahwa para ulama
yang membantah para pen-ta’thil sifat-sifat Allah ﷻ menyebut Muktazilah
sebagai Jahmiyah. Seperti Imam Ahmad –rahimahullah- yang menulis kitab
Ar-Radd ala al-Jahmiyah, dan juga Imam Bukhari, dan yang mereka maksud
dengan Jahmiyah adalah Muktazilah. ([19])
Kullabiyah
Di
akhir-akhir zaman sahabat dan di awal-awal zaman Tabiin, banyak orang
‘Ajam (luar Arab) yang berbondong-bondong masuk Islam. Seiring
berjalannya waktu, mulailah pemerintahan-pemerintahan dipegang oleh
orang-orang ‘Ajam, lalu mereka berinisiatif untuk menerjemahkan
buku-buku dari Yunani ke dalam Bahasa Arab, sehingga buku-buku tersebut
dibaca oleh orang-orang Arab dan perlahan-lahan pemikiran-pemikiran
Filsafat tersebut merasuk ke dalam tubuh umat Islam. Mulailah mereka
berani untuk berbicara dalam masalah akidah dengan akal mereka dan
meletakkan fondasi bid’ahnya dengan asas yang mencocoki akal dan hawa
nafsunya, mereka berkata Allah ﷻ seperti ini dan seperti itu dan
lama-lama mulai menolak sifat Allah ﷻ.
Oleh
karena itu, sebagaimana yang telah berlalu sebelumnya bahwa awalnya
Muktazilah tidak berbicara dalam permasalahan al-Asma’ wa ash-Shifat,
akhirnya mereka terpengaruh pemahaman Jahmiyah. Sehingga Muktazilah
dalam akidah al-Asma’ wa ash-Shifat mereka mencocoki Jahmiyah, karenanya
Imam Ahmad menulis sebuah kitab berjudul “Ar-Radd ‘alal Jahmiyah waz
Zanadiqah” yang sebenarnya ditujukan kepada kaum Muktazilah. Kemudian
setelah Muktazilah, muncullah sekte lain yang dinamakan dengan
Kullabiyah yang dipelopori oleh Ibnu Kullab.
Adapun
Ibnu Kullab beliau adalah Abdullah bin Sa’id bin Kullab Al-Qatthan, Abu
Muhammad Al-Basri. Salah seorang ahli kalam di zaman pemerintahan
Al-Ma’mun. Di antara karya tulisnya adalah Ash-Shifat, Khalq al-Af’al,
dan Ar-Radd ala al-Muktazilah. Disebutkan pula bahwa di antara
murid-murid Beliau adalah Al-Harits Al-Muhasibi dan Daud Adz-Dzahiri.
Diperkirakan wafatnya sebelum tahun 240H.([20]) Sekte Kullabiyah
menetapkan sebagian sifat-sifat Allah ﷻ yaitu sifat-sifat dzatiyah.
Asya’irah
Selanjutnya
muncullah Imam Abul Hasan Al-Asy’ari (wafat 324H) yang awalnya membawa
pemahaman Muktazilah, karena berguru dari bapak tirinya Abu ‘Ali
Al-Jubba’i. Lalu Abul Hasan Al-Asy’ari bertemu dengan sebagian penganut
mazhab Kullabiyah([21]), dia berguru kepadanya sehingga dia melepaskan
jubah Muktazilahnya (setelah menganutnya selama 40 tahun) dan menjadi
penganut mazhab Kullabiyah. Sebelum akhirnya beliau rujuk kepada
pemahaman Imam Ahmad bin Hanbal yaitu mazhab salaf dan berlepas diri
dari pemahaman-pemahamannya yang terdahulu. Dalam pertobatannya tersebut
beliau menulis empat kitab yang memuat bagaimana Akidah Ahlusunah, di
antaranya Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, Al-Maqalat Al-Islamiyyin,
Risalah ila Ahlits Tsagr, Al-Luma’, walaupun masih dijumpai debu-debu
pemikiran sisa bid’ah akibat masa lalu beliau.
Lalu
muncullah kaum Asya’irah belakangan yang menyelisihi akidah Pendiri
mereka Abul Hasan al-Asyári. Jika Abul Hasan dan murid-muridnya
berakidah seperti Kullabiyah -yaitu menetapkan seluruh sifat dzatiyah-,
adapun kaum Asya’irah belakangan (Ar-Razi dan Al-Amidi) maka mereka
menolak mayoritas sifat-sifat dzatiyah dan hanya menetapkan 7 sifat saja
dari sifat-sifat dzatiyah, adapun sifat-sifat yang lainnya ditakwilkan
dan dibawa maknanya kepada salah satu dari 7 sifat tersebut.
Maturidiyah
Lalu
para ulama dari mazhab Hanafi mengembangkan pemahaman Asya’irah ini,
hingga datanglah Abu Manshur Al-Maturidi (wafat tahun 333H) yang
berusaha mengembangkan pemahaman Asya’irah. Meskipun dijumpai adanya
sedikit perbedaan dengan Asya’irah, sehingga orang-orang mengenal
mazhab/sekte Maturidiyah.([22])
Akidah Mu’aththilah (Para Penolak Sifat)
Siapa
saja yang melakukan at-Ta’thil, yaitu mengingkari dan meniadakan salah
satu dari sifat-sifat Allah ﷻ, maka ia disebut sebagai Mu’atthil.
Syaikh
Zaid bin Abdul Aziz Al-Fayyadl([23])mengatakan, “Para pengingkar sifat
Allah ﷻ dinamakan sebagai Mu’atthil karena mereka meniadakan dan
melepaskan Allah ﷻ dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya”([24])
Penggunaan
istilah Mu’atthilah juga telah eksis sejak generasi para Salaf. Berikut
beberapa nukilan yang memperkuat hal tersebut:
Abu
Zur’ah Ar-Razi([25]) mengatakan: “Mu’attilah Nafiyah adalah mereka yang
mengingkari sifat-sifat Allah ﷻ yang Ia telah menyifati diri-Nya
dengannya dalam Al-Qur’an dan melalui lisan Nabi-Nya ﷺ.
Mereka
mendustakan dalil-dalil sahih yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad ﷺ
tentang sifat-sifat Allah ﷻ, dan malah menakwilnya berdasarkan hawa
nafsu rusak mereka, agar selaras dengan keyakinan mereka yang sesat.
Tidak hanya sampai di situ, mereka juga menjuluki mereka yang
meriwayatkan dan meyakini kandungan dalil-dalil tersebut dengan
Musyabbihah.
Siapa
saja yang menjuluki mereka yang menyifati Tuhan mereka dengan apa yang
Ia menyifati diri-Nya dengannya, dan apa yang Rasul-Nya menyifati-Nya
dengannya, tanpa disertai tamtsil atau pun tasybih, dengan julukan
Musyabbihah, maka ia adalah seorang Mu’atthil nan Nafi. Dan julukan
Musyabbihah yang ia berikan kepada mereka, adalah bukti bahwa ia seorang
Mu’atthil nan Nafi.
Demikianlah keterangan para ulama dahulu, seperti Abdullah bin Al-Mubarak([26]) dan Waki’ bin Al-Jarrah([27])” ([28])
Ishaq
bin Rahawaih([29]) rahimahullah mengatakan, “Ciri khas Jahm dan para
pengekornya adalah memfitnah Ahlusunah dengan julukan Musyabbihah.
Justru merekalah yang Mu’atthilah!
Bahkan
mungkin saja jika dikatakan bahwa mereka juga merupakan Musyabbihah,
karena mereka mengatakan bahwa Allah ﷻ Maha sempurna di mana pun Ia
berada, baik di langit tertinggi maupun di lapisan terbawah bumi, semua
sama!
Sungguh ucapan mereka tersebut adalah kedustaan, dan mereka dapat divonis dengan kekafiran!”([30])
Abu Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi([31]) mengatakan, “Apa yang tertera dalam Al-Qur’an dan sunah, seperti:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: ‘Tangan Allah ﷻ terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu.” (QS. Al-Ma’idah: 64)
Dan seperti firman-Nya ﷻ,
وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya.” (QS. Az-Zumar: 67)
Dan
yang semisal dengannya, tidaklah boleh kita tambah-tambahi (maknanya),
atau pun kita (coba-coba) tafsirkan (tanpa dalil). Kita mencukupkan diri
dengan apa yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan sunah.
Kita meyakini bahwa,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arasy.” (QS. Thaha : 5)
Barang siapa yang meyakini selain keyakinan ini, maka ia adalah seorang Mu’atthil nan Jahmi.”([32])
Dapat disimpulkan dari 3 nas para Salaf di atas, bahwa lafaz Mu’atthil menurut mereka mencakup 2 jenis kelompok, yaitu:
- Pertama: Kelompok yang menganut paham at-Ta’thil secara kulli (totalitas/tulen).
Ini
jelas sekali, dimana ucapan dan celaan dari mereka yang utama terarah
kepada kelompok Mu’attilah yang mereka jumpai di zaman mereka, yaitu
Jahmiyah dan Muktazilah.
Adapun
kelompok yang menganut at-Ta’thil secara juz’i (parsial dan tidak
totalitas), seperti Asya’irah dan Maturidiyah, mereka muncul setelah
para penganut ta’thil kulli.
- Kedua: Kelompok yang menganut paham at-Ta’thil secara juz’i (parsial tidak totalitas).
Pernyataan
para Salaf juga mencakup mereka, dimana istilah “Mu’atthil” juga mereka
tujukan kepada setiap orang yang menyelisihi pemahaman Ahlusunah
seputar sifat-sifat Allah ﷻ, tanpa merinci bentuk penyelisihan tersebut.
Dan inilah yang dapat disimpulkan dari ucapan Abu Zur’ah Ar-Razi dan
Abu Bakr Al-Humaidi.
Hal ini juga dibuktikan oleh dua poin berikut:
Para Salaf dahulu memvonis seseorang dengan Mu’atthil ketika mereka
mendapati dirinya menjuluki orang yang menetapkan sifat-sifat Allah ﷻ
dengan sebutan Musyabbih.
Syaikhul
Islam rahimahullah mengatakan, “Dahulu mereka (para Salaf) memvonis
seorang yang selalu meniadakan tasybih (antromorfis) namun tanpa
disertai isbat terhadap sifat-sifat Allah ﷻ, dengan sebutan Jahmi
(penganut ideologi Jahmiyah) nan Mu’atthil.
Ini
banyak sekali ditemukan di sela-sela pernyataan para Salaf. Karena
Jahmiyah dan Muktazilah –sampai saat ini- menamai orang yang menetapkan
salah satu dari sifat Allah ﷻ dengan julukan Musyabbih. Dan penamaan
tersebut adalah bentuk kedustaan dan rekayasa mereka semata.”([33])
Dan
sudah dimaklumi bahwa para Mu’atthilah dengan berbagai warnanya, mereka
menjuluki Ahlusunah dengan Musyabbihah (pelaku tasybih).
Bahkan Mu’atthilah memvonis siapa pun yang menetapkan sifat Allah ﷻ dengan Musyabbihah, walaupun hanya satu sifat.
Bahkan Muktazilah pun menjuluki Asya’irah dengan Musyabbihah (karena Asya’irah menetapkan sebagian sifat-sifat Allah ﷻ).([34])
Para imam Ahlusunah sepeninggal mereka (Abu Zur’ah dan Al-Humaidi)
yang menghadapi bid’ah yang dibawa oleh Asya’irah –seperti Syaikhul
Islam Ibn Taimiyah rahimahullah– juga menamai Asya’irah dengan
Jahmiyah.([35])
Secara umum paham Ta’thil (menolak sifat Allah ﷻ) terbagi ke dalam dua jenis:
- Ta’thil Kully (menolak seluruh sifat Allah ﷻ)
Kelompok-kelompok yang menolak seluruh sifat Allah ﷻ adalah:
Jahmiyah
Di antara ketergeliciran kelompok Jahmiyah adalah mereka menolak seluruh sifat Allah ﷻ dan juga menolak seluruh nama Allah ﷻ.
Mereka
melakukan hal tersebut karena mereka berpikir bahwa apabila seseorang
menetapkan nama dan sifat Allah ﷻ maka dia telah melakukan tasybih
(menyerupakan Allah ﷻ dengan makhluk) karena yang memiliki nama dan
sifat adalah makhluk.
Muktazilah
Di
antara ketergeliciran kelompok Muktazilah adalah mereka juga menolak
seluruh sifat Allah ﷻ, bedanya dengan Jahmiyah mereka menetapkan seluruh
nama Allah ﷻ namun nama-nama tersebut tidak punya makna
- Ta’thil Juz’iy (menolak sebagian sifat Allah ﷻ)
Kelompok-kelompok yang menolak sebagian sifat Allah ﷻ adalah :
Kullabiyah
Di
antara ketergeliciran kelompok Kullabiyah adalah mereka menetapkan
seluruh sifat Dzatiyyah Allah ﷻ seperti wajah, tangan, ketinggian, dan
seterusnya, tetapi mereka menolak seluruh sifat Fi’liyyah Allah ﷻ dengan
alasan Allah ﷻ tidak menerima sifat huduts (sesuatu yang baru)
Asya’irah
Kelompok Asya’irah sendiri terbagi ke dalam dua golongan, yaitu:
- Mutaqaddimin (para pendahulu) : Mereka akidahnya sama dengan Kullabiyah yaitu menetapkan sifat Dzatiyyah dan menolak sifat Fi’liyyah
- Mutaakhkhirin (belakangan) : Mereka menolak seluruh sifat Allah ﷻ kecuali tujuh sifat saja yaitu Al-Hayah (hidup), Al-‘Ilmu (berilmu), Al-Iradah (berkehendak), As-Sama’ (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Kalam (berbicara), Al-Qudrah (berkuasa)
Maturidiyah
Aqidah
Maturidiyah sama dengan Akidah Asya’irah Muta’akhkhirin, hanya saja
mereka menambah sifat yang ke delapan yaitu sifat At-Takwin (penciptaan)
([36]).
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
____________
([1])
HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabir 1647, disahihkan oleh Syaikh
al-Albani dalam Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah 1803.
([2]) As-Shawaíq al-Mursalah (2/509-510).
([3])
HR. Ahmad No. 17142, Abu Dawud No. 4607, At-Tirmidzi No. 2676, dan Ibnu
Majah No. 42 dan disahihkan oleh Al-Albani dan Al-Arnauth.
([4]) Yaitu dengan wafatnya sahabat Nabi yang terakhir yaitu Abu at-Thufail Áamir bin Waatsilah pada tahun 110 H.
([5]) HR. Muslim No. 8.
([6]) Yaitu dengan wafatnya tabií yang terakhir yaitu Kholaf bin Kholiifah al-Kufiy al-Muámmar pada tahun 181 H.
([7])
Lihat: Al-Milal wa an-Nihaal (1/97-99), Majmu’ al-Fatawa (13/182),
Siyar A’lam an-Nubala’ (6/26), dan Mizan al-I’tidal (2/159).
([8]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (20/302).
([9]) Khalq Af’Alil ‘Ibad (29).
Kisah
Khalid al-Qasri membunuh al-Jaád bin Dirham disebutkan juga oleh
Ad-Darimi dalam kitabnya Ar-Radd ála al-Jahmiyah, beliau berkata :
وَأَمَّا
الْجَعْدُ فَأَخَذَهُ خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْقَسْرِيُّ
فَذَبَحَهُ ذَبْحًا بِوَاسِطَ، فِي يَوْمِ الْأَضْحَى عَلَى رُؤُوسِ مَنْ
شَهِدَ الْعِيدَ مَعَهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، لَا يَعِيبُهُ بِهِ عَائِبٌ
وَلَا يَطْعَنُ عَلَيْهِ طَاعِنٌ بَلِ اسْتَحْسَنُوا ذَلِكَ مِنْ فِعْلِهِ،
وَصَوَّبُوهُ مِنْ رَأْيِهِ
“Adapun
al-Jaád bin Dirham maka ditangkap oleh Khalid bin Abdillah al-Qasri
lalu ia menyembelihnya di kota Wasith di hadapan kaum muslimin yang
menghadiri shalat íed bersama beliau. Tidak seorang pun yang mencela
beliau bahkan mereka menganggap baik perbuatan beliau dan membenarkan
pendapat beliau” [Ar-Radd ála al-Jahmiyah, Ad-Darimi, (21)]
Wajar
jika para ulama ketika itu -yaitu para tabiín- memfatwakan untuk
membunuh al-Jaád bin Dirham. Hal ini karena al-Jaád telah menolak dua
sifat yang Allah ﷻ sebutkan dalam Al-Qur’an.
Pertama: Sifat berbicara Allah ﷻ yang telah ditunjukkan oleh firman Allah ﷻ,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah ﷻ telah berbicara dengan Musa dengan benar-benar pembicaraan” (QS An-Nisa: 164)
Kedua: Dan sifat al-Khullah (cinta Allah ﷻ) yang telah ditunjukkan oleh firman Allah ﷻ,
وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
Dan Allah ﷻ mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya (QS An-Nisa: 125)
Kedua
sifat ini berkaitan dengan sifat al-ikhtiyariah (sifat fi’liyah) yang
berkaitan dengan kehendak Allah ﷻ. Dan inilah asal syubhat yang menjadi
landasan pokok bagi seluruh penolak sifat untuk menolak sifat-sifat
Allah ﷻ.
([10]) Khalq Af’Alil ‘Ibad (29).
([11]) Al-Bidayah wa an-Nihayah (13/147).
([12]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (5/20-22).
([13]) Lihat: Al-Wafi bi al-Wafayat (11/67-68).
([14]) Lihat: Al-Kamil fi at-Tarikh (6/149).
([15]) Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah (13/147).
([16]) Syarh al-Aqidah al-Ashfahaniyyah (170).
([17]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (13/183-184).
([18]) Mukhtashar Tarikh Dimasyq, karya Ibn Manzur (6/51).
([19]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (12/119) dan Tarikh al-Jahmiyah wa al-Mu’tazilah (59).
([20])
Lihat: Al-Fahrasat karya An-Nadim (230), Siyar A’lam an-Nubala’
(11/174), Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra karya As-Subki (2/299), dan
Lisan al-Mizan (4/486).
([21]) Lihat Mauqif Ibn Taimiyah min al-Asya’irah, karya DR. Abdurrahman bin Shalih Al-Mahmud : (1/331 – 2/696).
([22]) Sebuah kelompok yang menisbahkan diri mereka kepada Abu Mansur Al-Maturidi Al-Hanafi.
Maturidiyah
sendiri tidaklah berkembang pesat semasa hidup Abu Mansur. Kelompok ini
malah berhasil eksis dalam jangka waktu yang panjang di puncak
keemasannya sepeninggalnya, dengan peran penting para ulama mazhab
Hanafi. Dan ini salah satu penyebab biografinya (Abu Mansur) tidaklah
disebutkan dalam kitab-kitab sejarah.
Ibnul
Atsir dalam Al-Kamil, Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnul
Imad dalam Syuzurat adz-Dzahab, Ibn Khalikan dalam Wafayat al-A’yan,
Ibnun Nadim dalam Al-Fahrasat, As-Shafadi dalam Al-Wafi bi al-Wafayat,
As-Sam’ani dalam Al-Ansab, Adz-Dzahabi dalam As-Siyar, Ibn Hajar dalam
Al-Lisan, dan As-Suyuthi dalam Tabaqat al-Mufassirin, mereka semua tidak
menyebutkan biografinya, padahal pada kitab yang sama mereka
menyebutkan biografi orang-orang yang sezaman dengannya.
Demikian
pula kitab-kitab ensiklopedi agama dan kelompok Islam, tidak
menyertakan biografi Abu Mansur, padahal Maturidiyah merupakan salah
satu kelompok Sifatiyyah.
Dan
karena itu pula, tidak ditemukan komentar rinci Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah -yang telah menyingkap kesesatan dan penyimpangan seluruh
kelompok sesat- seputar Maturidiyyah ini dalam berbagai karyanya.
[Lihat: Al-Maturidiyyah Dirasah wa Taqwima : (79-109)]
([23])
Zaid bin Abdul Aziz bin Zaid bin Abdul Aziz bin Abdul Wahhab bin
Muhammad bin Nasir bin Fayyad, salah satu ulama Najd. Beliau telah
berguru kepada banyak ulama, di antaranya Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Alu Syaikh, Abdul Lathif bin Ibrahim Alu Syaikh, Abdurrahman bin Qasim,
Abdul Aziz bin Baz, dan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
–rahimahumullah-. Beliau banyak memiliki karya tulis dalam bidang
akidah, dan juga bantahan-bantahan terhadap berbagai ideologi sesat.
Beliau wafat pada tahun 1416H. [Lihat: Ulama’ Najd khilal Tsamaniyah
Qurun : (2/203-208)].
([24]) Ar-Raudah an-Nadiyyah Syarh al-Aqidah al-Wasithiyyah (29)
([25])
Abu Zur’ah Ubaidullah bin Abdul Karim bin Yazid bin Fakhru Ar-Razi,
maula kaum Quraisy. Beliau adalah seorang imam, hafiz, dan yang terbaik
di zamannya, baik dari segi hafalan, kecerdasan, kebaikan agama,
keikhlasan, wawasan, dan pengaplikasian ilmu.
Abu Hatim rahimahullah mengatakan:
مَا خَلَفَ أَبُوْ زُرْعَةَ بَعْدَهُ مِثْلهُ
“Tidak seorang pun sepeninggal Abu Zur’ah yang setara dengannya” [Lihat: Tadzkirah al-Huffazh (2/577)].
([26])
Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadih Al-Marwazi, maula Bani Hanzhalah.
Seorang imam, hafiz, dan Syaikhul Islam. Beliau memiliki banyak karya
tulis yang kaya faedah.
Abdurrahman
bin Mahdi rahimahullah mengatakan, “4 imam besar Islam: Malik, Sufyan
Ats-Tsauri, Hammad bin Zaid, dan Abdullah bin Al-Mubarak”
Beliau wafat pada tahun 81/82H.[Lihat: Wafayat al-A’yan (3/32) dan Tadzkirah al-Huffazh (1/274)].
([27])
Waki’ bin Al-Jarrah bin Malih Ar-Ru’asi Al-Kufi. Seorang imam, hafiz,
tsabt, tokoh ahli hadis di Irak, dan salah satu imam besar umat Islam.
Ahmad
bin Hanbal –rahimahullah- mengatakan, “Aku tidak pernah menemukan sosok
yang serupa dengan Waki’. Ia banyak menghafal hadis, mengulang
hafalannya sembari menyebutkan fikihnya dengan baik, tambah lagi sifat
wara’ dan kesungguhan yang tinggi, serta tidak pernah membicarakan siapa
pun”
Beliau wafat pada tahun 197H. [Lihat: Tadzkirah al-Huffazh (1/306)]
([28]) Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah (1/178 dan 1/196-197).
([29])
Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim, Abu Ya’qub Al-Hanzhali,
salah seorang imam besar umat Islam. Beliau melakukan perjalanan
menuntut ilmu ke Irak, Hijaz, Yaman, Syam, kemudian kembali dan menetap
di Naisabur.
Muhammad
bin Aslam At-Thusi –rahimahullah- mengatakan ketika Ishaq bin Rahawaih
wafat, “Aku tidak pernah menyaksikan sosok yang lebih besar rasa
takutnya kepada Allah ﷻ daripada Ishaq. Ia adalah manusia yang paling
alim. Sungguh jika ia hidup di zaman Sufyan Ats-Tsauri, pasti Ishaq akan
dibutuhkan olehnya”
Beliau wafat pada tahun 238H. [Lihat: Shafwah ash-Shafwah (2/766-768)]
([30]) Syarh Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah (2/588).
([31])
Abdullah bin Az-Zubair bin Isa Al-Qurasyi Al-Asadi Al-Makki, Abu Bakr
Al-Humaidi. Penulis Al-Musnad dan salah satu murid Imam Asy-Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- mengatakan, “Al-Humaidi menurut kami adalah seorang imam besar”
Beliau wafat pada tahun 219H. [Lihat: Al-Bidayah wa an-Nihayah (14/238) dan Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (2/140)].
([32]) Dzamm at-Ta’wil (1/24) .
([33]) Majmu’ al-Fatawa (5/110).
([34])
Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengatakan, “Oleh karena itu para Salaf
ketika melihat seseorang yang berlebihan dalam mencela Musyabbihah,
mereka langsung mengetahui bahwa ia adalah seorang Jahmi nan Mu’atthil.
Hal itu didasari pengetahuan mereka bahwa Jahmiyah telah memvonis dengan
julukan tersebut (Musyabbihah) setiap orang yang beriman dengan
nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya.
Siapa
pun yang meniadakan uluw-nya (tingginya) Allah ﷻ di atas Arasy-Nya,
pastilah akan menamai orang yang mengakuinya sebagai Musyabbih.
Siapa
pun yang meniadakan sifat-sifat khabariyyah dan ainiyyah Allah ﷻ,
pastilah ia akan memvonis mereka yang meyakininya sebagai Musyabbihah.
Dan
sudah dimaklumi bahwa Ar-Razi –salah satu penggawa Asya’irah- dan yang
sepaham dengannya, telah divonis oleh Muktazilah dan yang sepaham dengan
mereka sebagai Musyabbihah.” [Lihat: Bayan Talbis al-Jahmiyah (1/379)]
Dan kitab-kitab rujukan Muktazilah adalah saksi akan hal ini, dimana ia sarat akan penjulukan Asya’irah dengan Musyabbihah.
([35]) Syaikhul Islam rahimahullah menyebutkan bahwa Jahmiyah memiliki 3 tingkatan, yaitu:
Pertama: Kelompok ekstremis yang
meniadakan seluruh nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya. Sekalipun
terkadang mereka menyebut Allah ﷻ dengan salah satu al-Asma’ al-Husna,
mereka berdalih bawah itu hanyalah majas/kiasan belaka.
Kedua: Jahmiyah dari
kalangan Muktazilah. Mereka mengakui nama-nama Allah ﷻ secara umum,
namun mengingkari sifat-sifat-Nya c. Dan mereka ini adalah yang paling
populer dari kalangan Jahmiyah.
Ketiga: Kelompok Shifatiyyah yang
menetapkan nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya, namun mereka
terpengaruhi ideologi Jahmiyah. Seperti mereka yang mengakui nama-nama
Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya secara umum, namun mengingkari dan menakwil
sebagian nama-nama Allah ﷻ dan sifat-sifat-Nya, baik sifat khabariyyah
atau pun selainnya. [Lihat: At-Tis’iniyyah : (1/265-271)].
Oleh
karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menamai kitabnya yang membantah
Ar-Razi –salah satu pentolan Asya’irah- dengan : Bayan Talbis
al-Jahmiyah, yang artinya: “Menyingkap Tipu Daya Jahmiyah”.
([36])
Peringatan: Pembahasan yang lebih detail tentang sifat-sifat Allah
disertai bantahan terhadap syubhat-syubhatnya telah penulis jabarkan di
dua kitab penulis:
Pertama: Tesis yang berjudul أَجْوِبَةُ شَيْخِ
الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ عَنِ الشُّبُهَاتِ التَّفْصِيْلِيَّةِ
لِلْمُعَطِّلَةِ فِي الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ “Jawaban
Ibnu Taimiyyah tentang syubhat-syubat terperinci yang dilontarkan oleh
para penolak sifat untuk menolak sifat-sifat dzatiyah” (dan ini sudah
dicetak buku berbahasa arabnya dan juga terjemahannya)
Kedua: Syarah al-Aqidah al-Washithiyah (masih dalam proses penyusunan).
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/