Oleh Parson M. Zulfan
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
Soal:
Bagaimana tata cara shalat kusuf (gerhana) itu?
Jawaban:
Alhamdulilah,
Dalil-dalil disyariatkannya dengan sholat kusuf (gerhana)
Yang pertama, Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud Al Anshary:
عَنْ
أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِمَا
عِبَادَهُ ، وَإِنَّهُمَا لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ
، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى
يُكْشَفَ مَا بِكُم ).
“Sesungguhnya
matahari dan bulan itu merupakan dua tanda diantara tanda-tanda
kekuasaan Allah. Allah menjadikan keduanya untuk menakut-nakuti
hamba-hamba-Nya. Dan sungguh tidaklah keduanya terjadi gerhana karena
kematian atau kelahiran seorang manusia pun. Apabila kalian melihat
sebagian dari gerhana tersebut, maka sholatlah dan berdo’alah kepada
Allah hingga gerhana tersebut hilang dari kalian” (HR. Bukhari no. 1041,
Muslim no. 911).
Yang kedua, hadits dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ
أَبِي مُوسَى رضي الله عنه قَالَ : خَسَفَتْ الشَّمْسُ فَقَامَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ
السَّاعَةُ ، فَأَتَى الْمَسْجِدَ فَصَلَّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ
وَسُجُودٍ رَأَيْتُهُ قَطُّ يَفْعَلُهُ ، وَقَالَ : (هَذِهِ الْآيَاتُ
الَّتِي يُرْسِلُ اللَّهُ لَا تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ
وَلَكِنْ يُخَوِّفُ اللَّهُ بِهِ عِبَادَهُ ؛ فَإِذَا رَأَيْتُمْ شَيْئًا
مِنْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ)
“Ketika
terjadi gerhana matahari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas
berdiri takut karena khawatir akan terjadinya hari kiamat, sehingga
Beliau mendatangi masjid kemudian shalat dengan berdiri, ruku’, dan
sujud yang begitu lama. Aku belum pernah melihat Beliau melakukan shalat
sedemikian itu. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang
ditunjukkan-Nya, gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau
hidupnya seseorang. Tetapi Allah menjadikan yang demikian untuk
menakut-nakuti hamba-hamba-Nya. Apabila kalia melihat sebagian dari
gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon
ampunan kepada Allah ta’ala” (HR. Bukhori no. 1059, Muslim no. 912).
Tata cara shalat gerhana
Adapun tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:
- Takbiratul ihram
- Membaca do’a istiftah kemudian berta’awudz, dan membaca surat Al Fatihah dilanjutkan membaca surat yang panjang.
- Kemudian ruku’, dengan memanjangkan ruku’nya.
- Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah, rabbanaa wa lakal hamd’.
- Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
- Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ yang pertama.
- Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah, rabbanaa wa lakal hamd’, kemudian berhenti dengan lama.
- Kemudian melakukan dua kali sujud dengan memanjangkannya, diantara keduanya melakukan duduk antara dua sujud sambil memanjangkannya.
- Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
- Tasyahud.
- Salam. (Lihat : Al Mughni karya Ibnu Qudamah 3/313, dan Al Majmu’ karya Imam Nawawi 5/48)
Dalil yang menerangkan tentang sifat shalat gerhana adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ :
” خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَخَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ ،
فَكَبَّرَ ، فَاقْتَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا
، ثُمَّ قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ. فَقَامَ وَلَمْ يَسْجُدْ
، وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ، هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ
الْأُولَى . ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ، وَهُوَ أَدْنَى
مِنْ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ . ثُمَّ قَالَ : سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ. ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ قَالَ فِي
الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ . فَاسْتَكْمَلَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ ،
فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ
“Terjadi
gerhana matahari pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih
hidup, kemudian Beliau keluar menuju masjid untuk melaksanakan sholat,
dan para sahabat berdiri dibelakang Beliau membuat barisan shof sholat,
lalu Beliau bertakbir dan membaca surat yang panjang, kemudian bertakbir
dan ruku’ dengan ruku’ yang lama, lalu bangun dan mengucapkan :
‘sami’allahu liman hamidah’. Kemudian bangkit dari ruku’ dan tidak
dilanjutkan dengan sujud, lalu membaca lagi dengan surat yang panjang
yang bacaannya lebih singkat dari bacaan yang pertama tadi. Kemudian
bertakbir, lantas ruku’ sambil memanjangkannya, yang panjangnya lebih
pendek dari ruku’ yang pertama. Lalu mengucapkan : ‘sami’allahu liman
hamidah, rabbanaa wa lakal hamd’, kemudian sujud. Beliau melakukan pada
raka’at yang terakhir seperti itu pula maka sempurnalah empat kali ruku’
pada empat kali sujud” (HR. Bukhori no. 1046, Muslim no. 2129).
Wallahu a’lam.
Sumber: https://muslim.or.id/