Oleh Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc
Alhamdulillah,
Allah subhanahu wa ta’ala masih memberikan kita berbagai macam nikmat,
kita pun diberi anugerah akan berjumpa dengan bulan Dzulhijah. Berikut
kami akan menjelasakan keutamaan beramal di awal bulan Dzulhijah dan apa
saja amalan di bulan dzulhijjah yang dianjurkan ketika itu. Semoga
bermanfaat.
Keutamaan Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijah
Di
antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah
adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَا
مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ
هَذِهِ الأَيَّامِ . يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى
سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ
يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak
ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal
sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan
Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan
Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya
namun tidak ada yang kembali satupun.”[1]
Di antaranya lagi yang menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2).
Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2]
Makna
ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari
pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh
hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3]
Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4]
Ibnu
Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari
Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas
pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat
Ibnu ‘Abbas.[5]
Keutamaan Beramal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh
yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada
hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat
bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali
satupun.”[6]
Ibnu
Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah daripada
hari-hari lainnya dan di sini tidak ada pengecualian. Jika dikatakan
bahwa amalan di hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, itu
menunjukkan bahwa beramal di waktu itu adalah sangat utama di
sisi-Nya.”[7]
Bahkan
jika seseorang melakukan amalan yang mafdhul (kurang utama) di
hari-hari tersebut, maka bisa jadi lebih utama daripada seseorang
melakukan amalan yang utama di selain sepuluh hari awal bulan Dzulhijah.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Tidak pula
jihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad di jalan
Allah.” Lalu beliau memberi pengecualian yaitu jihad dengan mengorbankan
jiwa raga. Padahal jihad sudah kita ketahui bahwa ia adalah amalan yang
mulia dan utama. Namun amalan yang dilakukan di awal bulan Dzulhijah
tidak kalah dibanding jihad, walaupun amalan tersebut adalah amalan
mafdhul (yang kurang utama) dibanding jihad.[8]
Ibnu
Rajab Al Hambali mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa amalan mafdhul
(yang kurang utama) jika dilakukan di waktu afdhol (utama) untuk
beramal, maka itu akan menyaingi amalan afdhol (amalan utama) di
waktu-waktu lainnya. Amalan yang dilakukan di waktu afdhol untuk beramal
akan memiliki pahala berlebih karena pahalanya yang akan
dilipatgandakan.”[9]
Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[10]
Sebagian
ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama
dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000
hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua
berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini
tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan
hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[11]
Keutamaan
sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak
terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat,
sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[12]
Di
antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ
بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ
مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal
Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap
bulannya[13], …”[14]
Di
antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal
Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu
Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari
tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [15]
Namun ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.”[16]
Mengenai riwayat ini, para ulama memiliki beberapa penjelasan.
Ibnu
Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena
khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib.[17]
Imam
Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal
yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan
riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah.
Sebagian
ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah
yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan
bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari
Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya
puasa sembilan hari Dzulhijah.
Namun
dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat
‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh
selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada.
Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari
lainnya.[18]
Catatan: Kadang dalam hadits disebutkan berpuasa
pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Yang dimaksudkan adalah mayoritas dari
sepuluh hari awal Dzulhijah, hari Idul Adha tidak termasuk di dalamnya
dan tidak diperbolehkan berpuasa pada hari ‘Ied.[19].
Keutamaan Hari Arofah
Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,
مَا
مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ
النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ
الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di
antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah
di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan
mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para
malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh
mereka?”[20]
Itulah
keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di
Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah
pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun dalam keadaan
letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho, kedekatan dan
perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di Arofah inilah
yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat
mereka masing-masing.[21]
Keutamaan
yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin
Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[22]
Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan.[23]
Jadi
hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada
Allah. Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena dilakukan
pada waktu yang utama.
Jangan Tinggalkan Puasa Arofah
Bagi
orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu
pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ
يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ
الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى
قَبْلَهُ
“Puasa
Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan
datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang
lalu.”[24]
Hadits
ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro.
Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan
puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.[25]
Keutamaan
puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa
yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang
dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya
derajat.[26]
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika
itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.”[27]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan,
حَجَجْتُ
مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ أَبِى
بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ
فَلَمْ يَصُمْهُ. وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ أَنْهَى
عَنْهُ
“Aku
pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau
tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama
Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan
‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan
puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk
melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.”[28]
Dari
sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak
berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr,
‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan
berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas ulama.[29]
Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)
Ada riwayat yang menyebutkan,
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.[30]
Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta.[31]
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).[32]
Oleh
karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8
Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika berpuasa karena
mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan berpuasa
pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
Siapakah yang Harus Diikuti dalam Puasa Arofah?
Permasalahan
ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah.
Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi
Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang harus
diikuti dalam puasa Arofah?
Apakah
ikut waktu jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri
ini sehingga puasa Arofah tidak berpapasan dengan wukuf di Arofah?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mendapat pertanyaan sebagai berikut,
إذا
اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم
تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟
“Jika
terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan
mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah.
Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah
mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
هذا
يبنى على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحدفي الدنيا كلها أم هو يختلف
باختلاف المطالع؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان
الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل
مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا
اليوم لأنه يوم عيد، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم
التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق
ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا»
وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع
يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري
يكون كالتوقيت اليومي
“Permasalahan
ini adalah derivat dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh
dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat
yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Misalnya
di Mekkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah.
Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari
sebelum ru’yah Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah adalah
tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk
Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini
adalah hari Iedul Adha di negara mereka.
Demikian
pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari
setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah itu
baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut
berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari
tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah
pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan
hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya
kalian berhari raya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana
manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari
itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu
sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya
masing-masing).” [33]
–Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah-.
Namun
kami menghargai pendapat yang berbeda dengan penjelasan Syaikh di atas.
Hendaklah kita bisa menghargai pendapat ulama yang masih ada ruang
ijtihad di dalamnya.
Demikian
pembahasan kami mengenai amalan di awal Dzulhijah dan puasa Arofah.
Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dengan ikhlas dan sesuai
dengan petunjuk Nabi-Nya.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
______
Footnote:
[1]
HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan
Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[su_spacer]
[2]
Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal.
923, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[su_spacer]
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/153, Mawqi’ At Tafasir.
[su_spacer]
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 159, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H.
[su_spacer]
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 469, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[su_spacer]
[6]
HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan
Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[su_spacer]
[7] Latho-if Al Ma’arif, hal. 456.
[su_spacer]
[8] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 457 dan 461.
[su_spacer]
[9] Idem
[su_spacer]
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[su_spacer]
[11] Idem
[su_spacer]
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[su_spacer]
[13] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[su_spacer]
[14] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[su_spacer]
[15] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[su_spacer]
[16] HR. Muslim no. 1176, dari ‘Aisyah
[su_spacer]
[17] Fathul Bari, 3/390, Mawqi’ Al Islam
[su_spacer]
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460.
[su_spacer]
[19] Lihat Fathul Bari, 3/390 dan Latho-if Al Ma’arif, hal. 460.
[su_spacer]
[20] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[su_spacer]
[21] Lihat Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Alal Qori, 9/65,Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
[su_spacer]
[22] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[su_spacer]
[23] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam.
[su_spacer]
[24] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[su_spacer]
[25] Lihat Fathul Bari, 6/286.
[su_spacer]
[26] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam.
[su_spacer]
[27]
HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut
hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[su_spacer]
[28] HR. Tirmidzi no. 751. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[su_spacer]
[29] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 2/137, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[su_spacer]
[30] Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net
[su_spacer]
[31] Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net
[su_spacer]
[32] Lihat Irwa’ul Gholil no. 956.
[su_spacer]
[33]
Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.
Sumber: https://muslim.or.id/