Type Here to Get Search Results !

MASA ‘IDDAH DALAM ISLAM

   

Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Ingin sukses dalam segala hal yang dilakukannya merupakan tabi’at setiap orang. Termasuk ingin sukses dalam mengarungi samudra kehidupan bersama keluarga. Namun ternyata tidak selamanya keinginan itu sejalan dengan takdir Allâh Azza wa Jalla . Sebuah ikatan keluarga yang sudah berusaha dijaga demi meraih impian ternyata harus berakhir dengan perpisahan, baik terpisah karena problem yang tak kunjung ada solusi ataupun terpisah karena salah satunya meninggal dunia. Pertanyaannya, apakah dengan berakhirnya ikatan rumah tangga berarti berakhir pula aturan yang berkait dengannya ? Jawabannya, tidak. Karena setelah terjadi perpisahan ini, masih ada kewajiban yang harus tunaikan oleh pihak wanita yang disebut dengan masa ‘iddah. Apakah yang dimaksud dengan masa ‘iddah ? Ketentuan apa saja yang harus dilakukan pada masa ‘iddah ini ?

Pada pejelasan ringkat berikut, penulis akan mencoba untuk menyampaikan masalah ini secara sistematis.

Pengertian Masa ‘Iddah.

Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna perhitungan (الإِحْصَاء )[1]. Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah.

Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.[2]

Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[3]

Hikmah ‘Iddah[4]

Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah, diantaranya:

    Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.

    Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.

    Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.

    Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.

    Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil.

Dasar Pensyariatnnya.

Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.[5]

Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ [al-Baqarah/2:228]

Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali, diantaranya:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي

Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menikahlah!” [HR al-Bukhâri no. 4906].

Aturan-Aturan Dalam ‘Iddah

Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab talak, khulu’ (gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya[6]. Berdasarkan ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki masa iddah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. [al-Ahzâb/33:49]

Berdasarkan keterangan di atas dan berdasarkan penyebab perpisahannya, masalah ‘iddah ini dapat dirinci sebagai berikut:

1. Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya

Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :

a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4].

Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:

أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ

Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). [al-Bukhâri no. 5320 dan Muslim no.1485].

b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2: 234]

2. Wanita Yang Diceraikan

Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga).

a. Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa:

1. Wanita yang masih haidh

Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ [al-Baqarah/2: 228]

Menurut pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi:

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا

Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no. 252 dan dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud]

Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat ini dan mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu pun digunakan untuk pengertian suci (thuhr), sehingga memahami pengertian quru’ dalam ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah istihâdlah: 

دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ

Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu.[7]

2. Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah manopause .

Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. [at-Thalaq/65:4]

3. Wanita Hamil.

Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4]

4. Wanita yang terkena darah istihadhah.

Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.[8]

5. Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in).

Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.

Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain.[9]

3. Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’).

Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh[10], sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh. [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].

Juga hadits yang berbunyi:

عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَأَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haidh. [HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 945].

Perubahan Standar Masa ‘Iddah dari Haidh Ke Hitungan Bulan

Pada asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai sampai akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh, kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita seperti ini memiliki dua keadaan :

    Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak satu dan dua), maka masa ‘iddah yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan lagi dengan hitungan tiga kali haidh tapi sudah berpindah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya masih tetap sebagai istri. Talak raj’i tidak menghilangkan status istri pada seorang wanita. Oleh karena itu, wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang istri masih dalam masa ‘iddah.

    Apabila talak tersebut talak tiga (talak bâ`in), maka ia tetap hanya menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri telah terputus sejak talak tiga itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri pada seorang wanita hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian sang suami terjadi setelah si wanita bukan sebagai istrinya lagi.[11]

Perubahan Standar Masa ‘Iddah Dari Hitungan Bulan Ke Hitungan Haidh

Apabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun jika disaat menjalani masa ‘iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok.

Apabila masa ‘iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu.

Apabila seorang wanita memulai hitungan masa ‘iddahnya dengan haidh atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka ‘iddahnya berubah menjadi ‘iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.[12]

Penutup

Perlu diketahui bersama bahwa selama masa ‘iddah, hendaknya wanita atau isteri yang ditalak raj’i tetap berada di rumah suaminya, tidak boleh keluar tanpa izin dari suami tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allâh Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. [at-Thalaq/65:1].

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Mengapa demikian, karena status istri padanya belum hilang, sehingga masih menyisakan sebagian status dari sisi wanita dan sebagian status dari sisi suami. Hal ini akan lengkap kembali bila saling rujuk. Sudah dimaklumi apabila wanita tersebut berada dalam status tidak diceraikan, maka tidak boleh keluar kecuali dengan izin suaminya, karena kadang suami membutuhkannya sementara istri sedang berada di luar rumah. Kadang ketidaksukaan suami terhadap istri muncul dengan sebab istri keluar rumah atau menimbulkan kecemburuan. Oleh karena itu dalam hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam shahihain dan yang lainnya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Seorang wanita tidak boleh berpuasa (sunat) sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.

Apabila (ketentuan) ini berlaku pada puasa yang merupakan bagian dari ibadah yang paling agung, lalu bagaimana dengan keluar ? Apabila kamu bisa memahami ini, maka kamu akan tahu tidak sepantasnya bagi wanita di masa ‘iddah talak raj’i untuk keluar kecuali dengan izin suaminya.[13]

Demikian sebagian hukum mengenai masa ‘iddah semoga yang sedikit ini bermanfaat.

_______

Footnote

[1] Lihat Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304

[2] al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, hlm. 387 dan Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitâb was Sunnah al-Muthahharah, 5/383

[3] Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304

[4] Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561-562.

[5] Lihat Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 2/383 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561

[6] Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/420

[7] Zâdul Ma’âd, 5/609

[8] Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392.

[9] ???

[10] Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392

[11] Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392-393

[12] Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393

[13] Sailul Jarrar 2/388

Sumber: https://almanhaj.or.id/