Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Jiwa
manusia dan darahnya adalah perkara yang sangat dijaga dalam syari’at
Islam. Demikian juga kegunaan dan fungsi anggota tubuh pun tak lepas
dari penjagaan syari’at. Semua ini untuk kemaslahatan manusia dan
kelangsungan hidup mereka, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan
dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]
Hal
ini nampak jelas dengan larangan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n
terhadap pembunuhan, dalam banyak ayat dan hadits nabawi. Ayat-ayat
al-Qur`ân itu di antaranya adalah:
Firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“…dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [an-Nisâ’/4:29]
dan firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَنْ
يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan
barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja maka balasannya
ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan
mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” [an-Nisâ’/4:93]
Sedangkan dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya adalah:
1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجْتَنِبُوْا
السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قِيْلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ
الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ
اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ
وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ
الْمُؤْمِنَاتِ
“Hendaklah
kalian menjauhi tujuh perkara yang membinasakan.” Ada yang bertanya,
“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apa saja itu?” Beliau n
menjawab,“(Pertama) menyekutukan Allah Azza wa Jalla, (kedua) perbuatan
sihir, (ketiga) membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya)
kecuali dengan cara yang haq, (keempat) makan harta benda anak yatim,
(kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada waktu menyerang musuh
(desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina) perempuan-perempuan Mukmin
yang tidak tahu menahu (tentang itu).” [1]
2. Hadits dari `Abdullâh bin Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Bagi Allah Azza wa Jalla lenyapnya dunia jauh lebih ringan daripada membunuh seorang Muslim.” [2]
3.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu dan Abu Huraitah
Radhiyallahu anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau
bersabda:
“Andaikata
segenap penghuni langit dan penghuni bumi bersekongkol menumpahkan
darah seorang Mukmin, maka niscaya Allah Azza wa Jalla akan menjebloskan
mereka ke dalam api neraka.” [3]
4. Dari `Abdullâh bin Mas’ûd z bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِيْ الدِّمَاءِ
“Perkara yang pertama kali diputuskan di antara manusia (oleh Allah Azza wa Jalla kelak) ialah kasus pembunuhan.” [4]
5. Dari `Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَجِيْءُ
الرَّجُلُ آخِذًا بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُوْلُ يَا رَبِّ هَذَا قَتَلَنِيْ
فَيَقُوْلُ اللهُ لَهُ لِمَ قَتَلْتَهُ فَيَقُوْلُ قَتَلْتُهُ لِتَكُوْنَ
الْعِزَّةُ لَكَ فَيَقُوْلُ فَإِنَّهَا لِيْ وَيَجِيْءُ الرَّجُلُ آخِذًا
بِيَدِ الرَّجُلِ فَيَقُوْلُ إِنَّ هَذَا قَتَلَنِيْ فَيَقُوْلُ اللهُ لَهُ
لِمَ قَتَلْتَهُ فَيَقُوْلُ لِتَكُوْنَ الْعِزَّةُ لِفُلاَنٍ فَيَقُوْلُ
إِنَّهَا لَيْسَتْ لِفُلاَنٍ فَيَبُوْءُ بِإِثْمِهِ
“Ada
seorang laki-laki datang dengan memegang tangan laki-laki lain, lalu
berkata, ‘Wahai Rabbku, orang ini telah berusaha membunuhku.’ Kemudian
Allah Azza wa Jalla bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berusaha
membunuhnya?’ Maka orang yang telah berusaha membunuhnya itu menjawab,
‘Aku membunuhnya supaya kemuliaan menjadi milik-Mu semata.’ Kemudian
Allah Azza wa Jalla menjawab, ‘Maka (kalau begitu), itu untuk-Ku
semata.’ Kemudian datang (lagi) seorang laki-laki (lain) sambil memegang
tangan laki-laki juga, lalu ia berkata, ‘(Wahai Rabbku), orang ini
telah membunuhku.’ Lalu tanya Allah Azza wa Jalla kepadanya, ‘Mengapa
engkau membunuhnya?’ Jawabnya, ‘Supaya kemuliaan ini menjadi milik si
fulan.’ Maka firman Allah Azza wa Jalla , ‘Sesungguhnya kemuliaan
bukanlah milik si fulan.’ Maka laki-laki yang berusaha itu pulang dengan
membawa dosanya.” [5]
Demikian juga kaum Muslimin berijmâ’ atas hal ini.
Oleh
karena itu syari’at Islam memberikan hukuman dan balasan terhadap para
pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap tubuh manusia yang dikenal
dengan fikih Jinâyât.
DEFINISI JINAYAT
Kata jinâyât menurut bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari kata jinâyah yang berasal dari janâ dzanba yajnîhi jinâyatan (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً)
yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata
jinâyah dipakai dalam bentuk jama’ (plurals), karena ia mencakup banyak
jenis perbuatan dosa. Karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan,
secara disengaja ataupun tidak.[6] Kata ini juga berarti menganiaya
badan atau harta atau kehormatan.[7]
Sedangkan
menurut istilah syari’at jinâyat (Tindak Pidana) adalah menganiaya
badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishâsh atau membayar
diyat[8]atau kafârah[9].
HUKUM PEMBUNUH DAN PENGANIAYA.
Pembunuh
dan penganiaya badan manusia dihukumi sebagai fâsiq, karena melakukan
satu dosa besar. Hukum akhiratnya dikembalikan kepada Allah Azza wa
Jalla ; apabila Allah Azza wa Jalla hendak mengadzabnya maka akan
diadzab; dan bila mengampuninya maka ia diampuni. Karena masuk dalam
firman Allah Azza wa Jalla:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا
عَظِيمًا
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat
dosa yang besar. [an-Nisâ`/4:48]
Ini
bila ia tidak bertaubat sebelum meninggal dunia. Apabila ia telah
bertaubat, maka taubatnya diterima dengan dasar firman Allah Azza wa
Jalla:
قُلْ
يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا
مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah:”Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya.Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. [az-Zumar/39:53]
Namun
tidak gugur darinya hak korban yang terbunuh (al-Maqtûl) di akhirat
dengan sekedar taubat. Tapi korban tersebut akan mengambil kebaikan dan
pahala pembunuh tersebut sesuai dengan ukuran kezhalimannya atau Allah
Azza wa Jalla yang memberikannya dari sisinya. Juga tidak gugur hak
korban dengan di qishâsh, karena qishâsh adalah hak keluarga dan kerabat
korban (Auliya` al-maqtûl). [10]
Syaikh Ibnu Utsaimîn rahimahullah menyatakan: Pembunuhan dengan sengaja berhubungan dengan tiga hak:
- Hak Allah Azza wa Jalla dan ini akan terhapus dengan taubat.
- Hak auliyâ` al-Maqtûl dan ini gugur dengan menyerahkan diri kepada mereka.
- Hak al-maqtûl (korban). Ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang. Namun apakah akan diambil dari kebaikan pembunuh (di akherat) atau Allah Azza wa Jalla dengan keutamaan dan kemurahannya menanggungnya? Yang benar Allah Azza wa Jalla dengan keutamaannya yang bertanggung jawab apabila jelas kebenaran dan kejujuran taubatnya.[11]
Pendapat
inipun dikuatkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam penjelasan beliau:
“Yang benar bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak; hal Allah, hak
korban (al-Maqtûl) dan hak keluarga dan kerabat korban (auliyâ`
al-Maqtûl). Apabila pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela
dengan menyesalinya dan takut kepada Allah serta bertaubat dengan taubat
nashuha, maka gugurlah hak Allah Azza wa Jalla dengan taubat dan hak
auliyâ` al-Maqtûl dengan ditunaikan secara sempurna qishâsh atau
perdamaian atau dimaafkan. Namun masih tersisa hak korban, maka Allah
Azza wa Jalla yang akan menggantinya dihari kiamat dari hamba-Nya yang
bertaubat dan memperbaiki hubungan keduanya.”[12]
KLASIFIKASI JINAYAT (TINDAK PIDANA)
Jinâyat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:
A.
Jinâyat terhadap jiwa (Jinâyat an-Nafsi) adalah jinâyat yang
mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi
tiga:
- Pembunuhan dengan sengaja (al-‘Amd), Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh.
- Pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhul-’Amdi). Ini tidak termasuk sengaja dan tidak juga karena keliru (al-Khatha’) tapi tengah-tengah di antara keduanya. Seandainya kita lihat kepada niat kesengajaan untuk membunuhnya maka ia masuk dalam pembunuhan dengan sengaja. Namun bila kita lihat jenis perbuatannya tersebut tidak membunuh maka dimasukkan ke dalam pembunuhan karena keliru (al-Khatha’). Oleh karena itu para Ulama memasukkannya ke dalam satu tingkatan di antara keduanya dan menamakannya Syibhul-‘Amdi.[13] Adapun yang dimaksud syibhul-’Amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud membunuh orang yang terlindungi darahnya dengan cara dan alat yang biasanya tidak membunuh.[14]
- Pembunuhan karena keliru (al-Khatha’). Sedangkan yang dimaksud pembunuh karena keliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
Ketiga
jenis ini didasarkan kepada penjelasan al-Qur`ân dan Sunnah. Dalam
al-Qur`ân dijelaskan dua jenis pembunuhan yaitu sengaja dan tidak
sengaja (keliru), seperti dalam firman Allah Azza wa Jalla :
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ اَنْ يَّقْتُلَ مُؤْمِنًا اِلَّا خَطَـًٔا ۚ وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَـًٔا فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَّدِيَةٌ
مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّصَّدَّقُوْا ۗ فَاِنْ كَانَ
مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ ۗوَاِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍۢ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ
مِّيْثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلٰٓى اَهْلِهٖ وَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ ۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِۖ
تَوْبَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا٩٢ وَمَنْ
يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا
فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا
عَظِيْمًا
Dan
tidaklah layak bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barangsiapa membunuh
seorang mumin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar dia yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia
Mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang
Mukmin. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang Mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin
dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, ia kekal di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang
besar baginya.[an-Nisâ’/4:92-93]
Sedangkan
satunya lagi yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja
(syibhul-’Amdi), diambil dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
. di antaranya adalah hadits Abdullâh bin ‘Amr z dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَلاَ
إِنَّ دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ
وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا
أَوْلاَدُهَا
Ketahuilah
bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan
dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat
puluh ekor yang sedang hamil. [15]
B. Jinâyat kepada badan selain jiwa (Jinâyat dûnan-Nafsi/al-Athraf) adalah penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan nyawa.
Jinâyât seperti ini terbagi juga menjadi tiga:
Luka-luka (الشُجَاجُ وَالْجَرَاحُ)
Lenyapnya kegunaan anggota tubuh (إِتْلاَفُ الْمَنَافِعِ)
Hilangnya anggota tubuh (إِتْلاَفُ الأَعْضَاءِ)
Demikianlah
Fikih jinâyât mencakup kedua jenis jinâyât ini, sehingga nampak jelas
perhatian Islam terhadap keselamatan jiwa dan anggota tubuh seorang
Muslim. Dengan dasar ini jelaslah kesalahan orang yang mudah menumpahkan
darah kaum Muslimin.
Wabillâhi taufîq.
Referensi
- Muhammad bin Ismâ’il Ash-Shan’âni, Subulus-Salâm al-Mûshilah Ilâ Bulûghil-Marâm, tahqîq Muhammad Shubhi Hasan Halâf, cetakan kedelapan tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 7: 231
- Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimîn, asy-Syarhul-Mumti’ ‘Ala Zâdil-Mustaqni’, cetakan pertama tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 14/5
- Shâlih bin fauzân al-Fauzân, Tashîl al-Ilmâm Bi Fiqhi al-Ahâdits Min Bulûghil-Marâm, cetakan pertama tahun 1427 H tanpa penerbit. 5/117.
- Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhashul-Fiqh, cetakan pertama tahun 1423 H, Ri`âsah Idarâh al-Buhûts al-Ilmiyah wa al-Ifta`, KSA 2/461.
- Buku-buku Syaikh Muhammad Nâshirudin al-Albâni dll.
_______
Footnote:
[1] Muttafaq ’alaih: lihat Fathul Bâri 7/393 no: 2766, Muslim 1/ 92 no: 89, ’Aunul Ma’bûd 8/77 no: 2857 dan an-Nasâ’i 6/ 257.
[2] HR Tirmidzi 2/426 no: 1414 dan Nasâ’i 7/82, lihat Shahîhu al-Jâmi’ as-Shaghîr no: 5077.
[3] HR Tirmidzi 2/427 no: 1419 lihat Shahîhu al-Jâmi’is-Shaghîr no: 5247.
[4] Muttafaq ’alaih: lihat Fathul Bâri 12/187 no: 8664, Muslim 3/1304 no: 1418 dan an-Nasâ’i 7/83
[5] HR Nasâ’i 7/84, lihat Shahîhun-Nasâ’i no: 3732 dan Shahîhul-Jâmi’ no. 8029.
[6]
Muhammad bin Ismâ’il Ash-Shon’âni, Subulus-Salâm al-Mûshilah Ila
Bulughil-Marâm, tahqîq Muhammad Shubhi Hasan Halâf, cetakan kedelapan
tahun 1428 H, Dâr Ibnu al-Jauzi, KSA 7: 231
[7]
Lihat Muhammad bin Shâlih Ibnu Utsaimîn, asy-Syarhul-Mumti’ ‘Ala
Zâdil-Mustaqni’, cetakan pertama tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 14/5
dan Shâlih bin fauzân al-Fauzân, Tashîl al-Ilmâm Bi Fiqhi al-Ahâdits
Min Bulûghil-Marâm, cetakan pertama tahun 1427 H tanpa penerbit. 5/117.
[8] Asy-Syarhul-Mumti’ 14/5
[9]
Shalih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhashul-Fiqh, cetakan pertama
tahun 1423 H, Ri`âsah Idarâh al-Buhûts al-Ilmiyah wa al-Ifta`, KSA
2/461.
[10] Diambil dari kitab al-Mulakhashul-Fiqh 2/462.
[11] Asy-Syarhul-Mumti’ 14/7
[12] Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 7/165
[13] Asy-Syarhul-Mumti’ 14/5-6
[14] Lihat al-Mulakhashul-Fiqh 2/465.
[15] HR Abu Dâwud no. 4547, An-Nasâ`i 2/247 dan Ibnu Mâjah no. 2627 lihat Irwâ’ ul-Ghalîl 7/255-258 no.2197
Sumber: https://almanhaj.or.id/