Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Pemahaman
terhadap qishâsh selama ini terkadang masih dianggap sebagai sesuatu
yang sangat angker, menakutkan dan tidak manusiawi; sehingga timbul apa
yang dinamakan “Islam phobia”. Padahal Allah Azza wa Jalla menggambarkan
qishâsh dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan
dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]
Imam
as-Syaukâni rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan menyatakan:
“Maknanya ialah kalian memiliki jaminan kelangsungan hidup dalam hukum
yang Allah Azza wa Jalla syariatkan ini; karena bila seseorang tahu akan
dibunuh secara qishâsh apabila ia membunuh orang lain, tentulah ia
tidak akan membunuh dan akan menahan diri dari meremehkan pembunuhan
serta terjerumus padanya. Sehingga hal itu sama seperti jaminan
kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Ini adalah satu bentuk sastra
(balâghah) yang tinggi dan kefasihan yang sempurna. Allah Azza wa Jalla
menjadikan qishâsh yang sebenarnya adalah kematian, sebagai jaminan
kelangsungan hidup, ditinjau dari efek yang timbul yaitu bisa mencegah
saling bunuh di antara manusia. Hal ini dalam rangka menjaga keberadaan
jiwa manusia dan kelangsungan kehidupan mereka. Allah Azza wa Jalla juga
menjelaskan ayat ini untuk ulul albâb (orang yang berakal); karena
merekalah orang yang memandang jauh ke depan dan berlindung dari bahaya
yang muncul kemudian. Sedangkan orang yang pandir, berfikiran pendek dan
gampang emosi; mereka tidak memandang akibat yang akan muncul dan tidak
berfikir tentang masa depannya.”[1]
Akibat
sikap terburu-buru dan tidak mengerti hakekat syariat yang ditetapkan
Allah Azza wa Jalla, banyak orang bahkan kaum Muslimin yang belum mau
menerima atau bersimpati atas penegakan qishâsh ini. Padahal
pensyariatan qishâsh adalah kemaslahatan bagi manusia.
Syaikh
Prof. DR. Shalih bin Fauzân –hafizhahullâh menyatakan: “Pensyariatan
qishâsh berisi rahmat bagi manusia dan penjagaan atas darah mereka,
sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu. [al-Baqarah/2:179]
Sehingga
amat buruk orang yang menyatakan bahwa qishâsh itu sesuatu yang tidak
berperikemanusiaan (biadab) dan keras. Mereka tidak melihat kepada
kebiadaban pelaku pembunuhan ketika membunuh orang tak berdosa, ketika
menebar rasa takut di daerah tersebut dan ketika para wanita menjadi
janda, anak-anak menjadi yatim dan hancurnya rumah tangga. Mereka ini
hanya kasihan kepada pelaku kejahatan dan tidak kasihan kepada korban
yang tak berdosa. Sungguh jelek dan dangkal akal mereka. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
[al-Mâ‘idah/5:50]”[2]
Untuk
itu sangat diperlukan penjelasan tentang qishâsh ini agar kaum Muslimin
bisa mengerti keindahan dan rahmat yang ada di dalamnya.
DEFINISI QISHÂSH
Qishâsh
berasal dari bahasa Arab dari kata قِصَا صُ yang berarti mencari jejak
seperti al-Qashâsh. Sedangkan dalam istilah hukum Islam berarti pelaku
kejahatan dibalas seperti perbuatannya, apabila membunuh maka dibalas
dengan dibunuh dan bila memotong anggota tubuh maka dipotong juga
anggota tubuhnya.[3]
Sedangkan
Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Fauzân – hafizhahullâh- mendefiniskannya
dengan: ‘al-Qishâsh adalah perbuatan (pembalasan) korban atau walinya
terhadap pelaku kejahatan sama atau seperti perbuatan pelaku tadi.[4]
Dapat disimpulkan Qishâsh adalah melakukan pembalasan yang sama atau serupa, seperti istilah “hutang nyawa dibayar nyawa”.
DASAR PENSYARIATAN
Qishâsh disyariatkan dalam al-Qur‘ân dan Sunnah serta ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ
وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba
dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan
dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:178-179]
Baca Juga Hukuman Bagi Pezina di Dunia dan di Akhirat
Sedangkan
dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل
Siapa
yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa
memilih diyât dan bisa qishâsh (balas bunuh).[HR al-Jamâ’ah]
Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah dengan lafazh:
مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ
Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia mempunyai dua pilihan, bisa memilih memaafkannya atau bisa membunuhnya.[5]
Ayat
dan hadits di atas menunjukkan wali (keluarga) korban pembunuhan dengan
sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qishâsh) bila
menghendakinya, bila tidak, bisa memilih diyât dan pengampunan. Pada
asalnya pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada mafsadat
(kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya.[6]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan bahwa tidak boleh
memberikan maaf pada qatlu al-ghîlah (pembunuhan dengan memperdaya
korban).[7]
Sedangkan
Ibnu al-Qayyim rahimahullah ketika menyampaikan kisah al-‘Urayinin
menyatakan: ‘Qatlu al-ghîlah menuntut pelakunya harus dibunuh secara had
(hukuman), sehingga tidak bisa gugur dengan sebab ampunan dan tidak
pandang kesetaraannya (mukâfaah). Inilah pendapat penduduk Madinah dan
salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan yang dikuatkan oleh
Syaikh (Ibnu Taimiyah – pen) dan beliau rahimahullah berfatwa
dengannya[8]
HIKMAH PENSYARIATAN QISHÂSH
Allah
al-Hakîm menetapkan satu ketetapan syariat dengan hikmah yang agung.
Hikmah-hikmah tersebut ada yang diketahui manusia dan ada yang hanya
menjadi rahasia Allah Azza wa Jalla. Demikian juga dalam qishâsh
terdapat banyak hikmah, di antaranya:
Menjaga masyarakat dari kejahatan dan menahan setiap orang yang akan
menumpahkan darah orang lain. Karena itu Allah Azza wa Jalla sebutkan
dalam firman-Nya:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan
dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal,supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:179]
Mewujudkan keadilan dan menolong yang terzhalimi dengan memberikan
kemudahan bagi wali korban untuk membalas pelaku seperti yang
dilakukannya kepada korban. Karena itulah Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا
Dan
barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]
Menjadi sarana taubat dan pensucian dari dosa yang telah
dilanggarnya, karena qishâsh menjadi kaffârah (penghapus) dosa
pelakunya. Hal ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya:
تُبَا
يِعُونِيِّ عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلاَ
تَسْرِقُوْا وَلاَ تَزْنُوْاوَلاَ تَقْتُلُوْاأَوْلاَدَكُمْ
وَلاَتَأْتُوْابِبُهتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيْكُمْ
وَأَرْجُلِكُمْ وَلاَ تَعْصُوْا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ
فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوْقِبَ
فِي الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا
فَسَتَرَهُ اللَّهُ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَا قَبَهُ
وَإِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ
Kalian
harus berbai’at kepadaku untuk tidak berbuat syirik, tidak mencuri dan
tidak berzina, tidak membunuh anak kalian, tidak melakukan kedustaan dan
berbuat durhaka dalam hal yang ma`ruf. Barangsiapa di antara kalian
menunaikannya maka pahalanya ada pada Allah dan siapa yang melanggar
sebagiannya lalu dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai penghapus
baginya dan siapa yang melanggarnya lalu Allah tutupi; maka urusannya
diserahkan kepada Allah. Bila Ia kehendaki maka mengadzabnya dan bila Ia
menghendaki maka mengampuninya’. [Muttafaq ‘alaihi].
SYARAT KEWAJIBAN QISHÂSH
Secara umum wali (keluarga) korban berhak menuntut qishâsh apabila telah memenuhi syarat berikut:
Jinâyat (kejahatan) nya termasuk yang disengaja. Ini merupakan ijmâ’
para Ulama sebagaimana dinyatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah : ‘Para
Ulama berijmâ` bahwa qishâsh tidak wajib kecuali pada pembunuhan yang
disengaja dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara
mereka dalam kewajiban qishâsh karena pembunuhan dengan sengaja, apabila
terpenuhi syarat-syaratnya[9]
Korban termasuk orang yang dilindungi darahnya (‘Ishmat al-Maqtûl)
dan bukan orang yang dihalalkan darahnya, seperti orang kafir harbi dan
pezina yang telah menikah. Hal ini karena qishâsh disyariatkan untuk
menjaga dan melindungi jiwa.
Pembunuh atau pelaku kejahatan seorang yang mukallaf yaitu berakal
dan baligh. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: ‘Tidak ada perbedaan
pendapat di antara para Ulama bahwa tidak ada qishâsh terhadap anak
kecil dan orang gila. Demikian juga orang yang hilang akal dengan sebab
udzur, seperti tidur dan pingsan[10]
At-takâfu‘ (kesetaraan) antara korban dan pembunuhnya ketika terjadi
tindak kejahatan dalam sisi agama, merdeka dan budak. Sehingga tidak
diqishâsh seorang Muslim karena membunuh orang kafir; dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَيُقْتَلُ مُسْلِمُ بِكَافِرٍ
Tidaklah dibunuh (qishâsh) seorang Muslim dengan sebab membunuh orang kafir[11]
Tidak ada hubungan keturunan (melahirkan) dengan ketentuan korban
yang dibunuh adalah anak pembunuh atau cucunya, dengan dasar sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَيُقْتَلُ الوَالِدُ بِوَلَدِهِ
Orang tua tidak diqishâsh dengan sebab (membunuh) anaknya.[12]
Sedangkan anak bila membunuh orang tuanya tetap terkena keumuman kewajiban qishâsh.
SYARAT PELAKSANAAN QISHÂSH
Apabila
terpenuhi syarat-syarat kewajiban qishâsh seluruhnya, maka masih perlu
dipenuhi lagi syarat-syarat pelaksanaannya. Syarat-syarat tersebut
adalah:
Semua wali (keluarga) korban yang berhak menuntut qishâsh adalah
mukallaf. Apabila yang berhak menuntut qishâsh atau sebagiannya adalah
anak kecil atau gila, maka tidak bisa diwakilkan oleh walinya; sebab
dalam qishâsh ada tujuan memuaskan dan pembalasan sehingga wajib
menunggu pelaksanaannya dengan memenjarakan pelaku pembunuhan hingga
anak kecil tersebut menjadi baligh atau orang gila tersebut sadar. Hal
ini dilakukan Mu’âwiyah bin Abi Sufyânz yang memenjarakan Hudbah bin
Khasyram dalam qishâsh hingga anak korban menjadi baligh. Hal ini
dilakukan di zaman para Sahabat dan tidak ada yang mengingkarinya
sehingga seakan-akan menjadi ijmâ’ di masa beliau. Apabila anak kecil
atau orang gila membutuhkan nafkah dari para walinya, maka wali orang
gila saja yang boleh memberi pengampunan qishaash dengan meminta diyaat,
karena orang gila tidak jelas kapan sembuhnya berbeda dengan anak
kecil[13]
Kesepakatan para wali korban terbunuh dan yang terlibat dalam qishâsh
dalam pelaksanaannya. Apabila sebagian mereka walaupun seorang
memaafkan dari qishâsh maka gugurlah qishâsh tersebut[14]
Dalam pelaksanaannya tidak melampaui batas kepada selain pelaku pembunuhan, dengan dasar firman Allah Azza wa Jalla:
وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنصُورًا
Dan
barangsiapa dibunuh secara zhalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya. Tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan. [al-Isrâ‘/17:33]
Apabila
qishâsh menyebabkan sikap melampaui batas maka dilarang sebagaimana
dijelaskan dalam ayat di atas. Dengan demikian, apabila wanita hamil
akan diqishâsh maka tidak bisa sampai diqishâsh hingga melahirkan
anaknya, karena membunuh wanita tersebut dalam keadaan hamil akan
menyebabkan kematian pada janinnya. Padahal janin tersebut belum
berdosa, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. [al-An’âm/6:164]
SIAPAKAH YANG BERHAK MELAKUKAN QISHÂSH?
Yang
berhak melakukannya adalah yang memiliki hak yaitu para wali korban,
dengan syarat mampu melakukan qishâsh dengan baik sesuai syariat.
Apabila tidak mampu, maka diserahkan kepada pemerintah atau wakilnya.
Hal ini tentunya dengan pengawasan dan naungan pemerintah atau wakilnya
agar dapat mencegah sikap melampai batas dalam pelaksanaannya dan
memaksa pelaksana menunaikannya sesuai syari’at[15]
Demikian
beberapa hukum seputar qishâsh; mudah-mudahan dapat memberikan
pencerahan akan keindahan dan pentingnya menerapkan qishâsh di
masyarakat kita. Wabillâhi taufîq.
MARÂJI’
Imam Ibnu Qudâmah, al-Mughni, tahqîq ‘Abdullâh bin ‘Abdilmuhsin at-Turki, cetakan ke-2 tahun 1413H. penerbit Hajar.
Shâlih bin Fauzân al-Fauzân, Al-Mulakhash al-Fiqh, cetakan ke-2 tahun 1426 H, Jam’iyah Ihyâ’ at-Turâts al-Islâmi.
Muhammad bin Shalih Ibnu Utsaimîn, Asy-Syarhul-Mumti’ ‘Ala
Zâdil-Mustaqni’, cetakan pertama tahun 1428 H, Dâr Ibnul-Jauzi, KSA 14/5
Muhammad Nâshirudin al-Albâni, Irwâ’ul-Ghalîl, al-Maktab al-Islâmi. Dll
_______
Footnote
[1] Fathul-Qadîr 1/179 dinukil dari al-Mulakhash al-Fiqh 2/471
[2] Al-Mulakhas al-Fiqh 2/475
[3] Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34
[4] Al-Mulakhas al-Fiqh 2/476
[5] HR at-Tirmidzi no. 1409
[6] Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473 dan Asy-Syarhul-Mumti’ 14/34
[7] Al-Mulakhash al-Fiqh 2/473
[8] Lihat Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 7/207
[9] al-Mughni 11/457
[10] al-Mughni 11/481
[11] HR al-Bukhâri no. 111
[12] HR Ibnu Mâjah no. 2661 dan dishahîhkan al-Albâni dalam Irwâ’ al-Ghalîl no. 2214
[13] Lihat Al-Mulakhash al-Fiqh 2/476
[14] Lihat Asy-Syarhul-Mumti’ 14/38
[15] Lihat Asy-Syarhul-Mumti’ 14/54 dan Al-Mulakhas al-Fiqh 2/478.
Sumber: https://almanhaj.or.id/