Oleh: Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
KEWAJIBAN BERPUASA RAMADHAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
[Al-Baqarah/2:183]
Allah berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” [Al-Baqarah/2:185]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسِيْنَ…
“Islam dibangun di atas lima (sendi).”
Kemudian
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antaranya, berpuasa
di bulan Ramadhan. Kaum muslimin juga telah sepakat atas wajibnya
berpuasa di bulan Ramadhan.
Namun
demikian, terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai (dasar)
penamaan bulan ini dengan nama Ramadhan. Ada pendapat yang menyatakan
(dari perspektif maknawi -pent) bahwa dinamakan Ramadhan karena turmadhu
(تُرمَضُ) fiihidz Dzunuub (pada bulan ini dosa-dosa manu-sia dibakar) dan الرَّمْضَاءُ شِدَّةُ الْحُرِّ
(ar-ramdhaa’ maknanya panas membara).[1] Pendapat yang lainnya
menyatakan bahwa dinamakan Ramadhan karena orang-orang Arab ketika
mentransfer nama-nama bulan dari bahasa kuno, mereka menamakan
bulan-bulan itu berdasarkan realita dan kondisi yang terjadi ketika
zaman itu. Lalu secara kebetulan bulan ini jatuh tepat pada cuaca yang
panas membakar, maka dinamakan bulan ini dengan nama Ramadhan.[2]
KEBERKAHAN BULAN RAMADHAN DAN KEUTAMAANNYA
Bulan Ramadhan memiliki banyak keberkahan, keutamaan dan berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh bulan-bulan lainnya.
Keberkahan Pertama: Adalah bahwa puasa Ramadhan merupakan penyebab terampuninya dosa-dosa dan terhapusnya berbagai kesalahan.
Sebagaimana
hadits yang terdapat dalam ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala (dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.”[3]
Dan dalam Shahiih Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلصَّلَوَاتُ
الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ
مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرَ.
“Shalat
fardhu lima waktu, shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, dan Ramadhan ke
Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antara masa
tersebut seandainya dosa-dosa besar dijauhkannya.”[4]
Keberkahan Kedua:
Pada bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan,
yaitu malam lailatul Qadar. Namun mengenai hal ini akan dibahas secara
khusus dan tersendiri pada bab selanjutnya.
Keberkahan Ketiga:
Terdapat banyak hadits lain yang menjelaskan keutamaan dan keistimeaan
bulan yang sangat barakah ini, di antaranya hadits yang termaktub dalam
ash-Shahihain dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ.
“Apabila Ramadhan datang maka pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan syaitan-syaitan dibelenggu.”[5]
Sedangkan
dalam riwayat an-Nasa-i dan Imam Ahmad terdapat tambahan: “Telah datang
kepadamu Ramadhan, bulan yang penuh barakah.”[6]
Keberkahan Keempat:
Di antara keberkahan bulan ini adalah kaum Muslimin dapat meraih banyak
keutamaan dan manfaat puasa yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, di
antaranya yaitu:
1. Keutamaan-Keutamaan Duniawi
- Pertama: Ketakwaan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
[Al-Baqarah/2: 183]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dari hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan dalam kitab ash-Shahiihain:
وَالصِّيَامُ
جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ
يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ
صَائِمٌ.
“Puasa
itu adalah perisai, jika suatu hari salah seorang di antara kalian
dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya dia tidak berkata kotor dan
berteriak-teriak. Jika seseorang mencela dan mencacinya, hendaknya ia
mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’”[7]
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Puasa adalah perisai,”
maknanya bahwa puasa memelihara pelakunya dari adzab Neraka pada hari
Kiamat, puasa memeliharanya dari hawa nafsu dan kemungkaran dalam
kehidupan dunianya.[8] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
telah membimbing orang yang berpuasa untuk meninggalkan perkataan kotor
dan keji, perbuatan-perbuatan yang buruk serta meninggalkan emosi
kemarahan. Dan akhlak pelaku puasa yang mulia ini akan membantunya
meraih derajat takwa. Itulah perangai yang terpuji.
- Kedua: Pelipatgandaan Pahala
Berdasarkan hadits yang tertera dalam kitab ash-Shahiihain dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhhu:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ…
“Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Setiap amal yang dilakukan anak Adam
adalah untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Akulah
yang akan mengganjarnya…’”
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:
كُلُّ
عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ
لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي.
“Setiap
amal yang dilakukan anak Adam akan dilipatgandakan. Satu kebaikan
dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Lalu
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu
untuk-Ku dan Aku-lah yang memberi ganjarannya. Orang yang berpuasa
meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku semata.”[9]
Imam
an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Firman Allah Ta’ala yang
menyatakan, ‘Dan Aku-lah yang memberi ganjarannya,’ merupakan penjelasan
yang nyata tentang kebesaran karunia Allah dan melimpahnya balasan
pahala-Nya karena sesungguhnya orang yang mulia dan dermawan jika
mengabarkan bahwa dia sendiri yang akan menanggung balasannya, ini
menunjukkan betapa besar kadar balasan yang dia persembahkan dan betapa
luas pemberian yang Dia berikan.”[10]
- Ketiga: Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah Ta’ala daripada wangi minyak kesturi
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخَلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ.
“Demi
Rabb yang jiwa Muhammad (berada) di tangan-Nya, sungguh bau mulut
seorang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada wangi minyak
kesturi.”
Al-khaluuf
artinya perubahan bau mulut sebagai akibat dari puasa. Namun hal ini
ternyata baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bahkan disukai-Nya.
Hal ini menunjukkan betapa agung perkara pu-asa di sisi Allah Ta’ala.
Sampai-sampai sesuatu yang menurut manusia dibenci dan dianggap jijik,
ternyata di sisi Allah merupakan sesuatu yang disukai. Karena hal
tersebut dibangun di atas sendi puasa yang merupakan implementasi dari
ketaatan kepada Allah.
- Keempat: Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa itu mendapatkan dua kebahagiaan
Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ.
“Bagi
orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan, berbahagia pada saat dia
berbuka, berbahagia dengan puasanya itu dan pada saat ia berjumpa
Rabb-nya.”[11]
- Kelima : Pengistimewaan terhadap orang-orang yang berpuasa dengan masuknya mereka ke dalam Surga lewat pintu khusus yang bernama ar-Rayyaan
Dalilnya adalah hadits Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِنَّ
فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ
الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ.”
“Sesungguhnya
di Surga itu ada sebuah pintu yang disebut ar-Rayyaan. Pada hari Kiamat
nanti orang-orang yang suka berpuasa akan masuk Surga lewat pintu itu.
Tidak ada seorang pun selain mereka yang diperkenankan (untuk masuk
Surga) lewat pintu itu.” [12]
2. Manfaat Puasa Yang Bersifat Mendidik Dan Sosial
- Pertama: Membiasakan diri untuk bersabar dan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan musibah
Oleh
karena itu, bulan ini disebut bulan kesabaran (syahru ash-shabri).
Makna asal ash-shabru (kesabaran) adalah al-habsu (mengekang, menahan
diri). Maka, di dalam puasa terdapat pengekangan atau penahanan diri
dari (syahwat) makan dan sebagian (nafsu) kelezatan.[13] Hal ini akan
menguatkan keinginan orang yang berpuasa.
- Kedua: Pembinaan akhlak
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Barangsiapa
yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak
butuh (terhadap puasanya) walaupun ia meninggalkan makan dan
minumnya.”[14]
Hakekat
puasa adalah berpuasanya kedua mata dari memandang sesuatu yang haram,
beruasanya pendengaran dari mendengar sesuatu yang diharamkan, puasanya
lisan dari perkataan dusta, keji dan sejenisnya dan berpuasanya seluruh
anggota tubuh dari melakukan sesuatu yang haram. Dalam ritual puasa
terdapat pendidikan bagi setiap individu mengenai persamaan antara yang
fakir dan yang kaya, berbuat baik kepada kaum fakir dan miskin.
3. Manfaat Kesehatan
- Pertama: Membebaskan tubuh dari lemak-lemak yang bertumpuk -apalagi pada orang-orang yang hidup mewah- yang seringkali menjadi sumber penyakit ketika lemak-lemak itu terus bertambah.
Sakit dari jenis ini merupakan penyakit kegemukan. Maka, lapar merupakan cara terbaik untuk mengatasi kegemukan tersebut.
- Kedua: Membuang kotoran-kotoran tubuh, racun-racun tubuh yang bertumpuk dan cairan-cairan tubuh yang merusak. Meringankan aliran darah pada urat nadi dan menjaganya dari tertutupnya pembuluh darah.
- Ketiga: Puasa memiliki pengaruh positif terhadap banyak penyakit, di antaranya untuk sakit maag, tekanan darah tinggi, stress maupun depresi.[15] Karena itu puasa mempunyai dampak positif yang mengagumkan dalam menjaga kesehatan. Apalagi puasa itu dijalani secara benar dan terarah pada waktu-waktu yang paling utama (afdhal) menurut syari’at. Secara pasti tubuh membutuhkan proses seperti puasa, sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya, at-Thibbun Nabawi.[16] Para dokter di dunia barat telah memperhatikan puasa sebagai salah satu cara yang efektif dari berbagai model terapi medis. Sebagian mereka mengatakan, “Sesungguhnya faedah lapar dalam terapi medis memiliki keunggulan yang berlipat kali dari penggunaan obat-obatan.[17] Dokter yang lainnya mengatakan, “Sesungguhnya puasa sebulan penuh dapat menghilangkan berbagai sisa-sisa kotoran badan selama setahun.[18] Inilah hal paling nyata dari manfaat puasa dan barakahnya di dunia dan akhirat, puasa yang telah diwajibkan Allah kepada kaum Muslimin sebulan penuh dalam setahun. Dia-lah puasa Ramadhan yang penuh barakah itu.
Keberkahan Kelima:
Yaitu besarnya keutamaan amal shalih yang dilakukan dalam bulan ini,
dan besarnya motivasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
memacu kaum Muslimin beramal shalih pada bulan ini. Di antara amal
shalih yang dimaksud adalah sebagai berikut:
- Pertama : Qiyaamul lail
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi motivasi (kepada para Sahabat) untuk
mendirikan qiyaam Ramadhaan (shalat malam Ramadhan) tanpa menyuruh
mereka dengan paksaan. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
‘Barangsiapa
yang mendirikan shalat malam di bulan Ramadhan dengan iman dan
mengharap pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu.’”
Lalu
setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal sekalipun,
ibadah ini terus berlanjut. Dan terus berlanjut pada masa kekhalifahan
Abu Bakar ash-Shiddiq dan permulaan masa kekhalifahan ‘Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu anhu.[19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah shalat Tarawih bersama Sahabat-Sahabat beliau Radhiyallahu
anhum, kemudian beliau meninggalkannya lantaran khawatir kaum Muslimin
menganggap wajib hukumnya shalat tersebut. Kemudian ‘Umar bin
al-Khaththab berinisiatif untuk mengumpulkan orang-orang di masjid
menunaikan shalat Tarawih.[20] Dan alhamdulillaah, ritual (syi’ar)
seperti ini masih terus berlangsung hingga hari ini. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sungguh-sungguh dan giat dalam
beribadah serta berdo’a pada sepuluh malam terakhir (al-‘asyrul
awaakhir) dari bulan Ramadhan.
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ
أَهْلَهُ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.
“Dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, apabila memasuki sepuluh hari (yang terakhir di bulan
Ramadhan), beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan
mengencangkan kainnya ’” [21][22]
- Kedua : Ash-Shadaqah
Imam al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu nahuma, dia berkata:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ
وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيْلُ
فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيْلُ كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيْحِ
الْمُرْسَلَةِ.
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dalam
kebaikan. Dan beliau lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan pada
saat Jibril menemuinya. Maka pada saat Jibril menemuinya, ketika itulah
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dalam kebaikan dari
pada angin yang berhembus.”
Pelajaran
yang dapat dipetik dari hadits ini adalah anjuran untuk memperbanyak
berderma dan bersedekah, lebih-lebih lagi dalam bulan Ramadhan yang
penuh barakah ini.
- Ketiga: Tilaawah al-Qur-aanil Kariim
Disunnahkan
untuk memperbanyak tilaawah al-Qur-an (membaca al-Qur-an) pada bulan
Ramadhan. Pada bulan inilah al-Qur-an diturunkan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam selalu mengulang-ulang hapalannya bacaan al-Qur-annya
bersama Jibril, satu kali di setiap Ramadhan. Sebagaimana yang tertera
dalam hadits Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Dalam hadits itu
disebutkan:
وَكَانَ
جِبْرِيْلُ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِيْ رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ
يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقُرْآنَ.
“Jibril
menemuinya setiap malam pada bulan Ramadhan hingga terbaring. Saat itu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan hapalan bacaan
al-Qur-annya pada Jibril.” [23]
Para Salafush Shalih Radhiyallahu anhum memperbanyak bacaan al-Qur-annya di dalam shalat maupun pada kesempatan lainnya. [24]
- Keempat: Al-I’tikaaf
I’tikaaf
yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam rangka taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahua anhuma disebutkan:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
“Bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari
terakhir dari bulan Ramadhan, (amalan ini terus dilakukannya-pent)
hingga Allah mewafatkannya. Kemudian istri-istri beliau meneruskan amal
ber-i’tikaf sepeninggalnya.” [25]
Tidak
diragukan lagi bahwa i’tikaf akan membantu pelakunya berkonsentrasi
untuk melakukan ibadah dan bertaqarrub kepada Allah Jalla wa ‘Alaa.
Lebih lagi pada saat-saat yang dimulia-kan, seperti bulan Ramadhan atau
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
- Kelima: Al-‘Umrah
Dalil
yang menunjukkan keutamaan melaksanakan ‘Umrah pada bulan Ramadhan
adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang
wanita Anshar yang tidak sempat melaksanakan haji bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً.
“Apabila
datang bulan Ramadhan, maka laksanakanlah ‘umrah kamu, sesungguhnya
‘umrah pada bulan Ramadhan nilainya setara dengan Haji.”
Dalam
riwayat lain disebutkan: “(‘Umrah pada Ramadhan itu) dapat menggantikan
Haji atau menggantikan Haji bersamaku.” [26] Maksudnya, nilai pahala
‘umrahnya wanita Anshar menyamai nilai pahala ber-Haji, bukannya ‘umrah
tersebut dapat menggantikan kedudukan hukum wajibnya Haji, sehingga
dapat menggugurkan hukum wajibnya haji tersebut, bukanlah demikian.[27]
[27]
Keberkahan
keenam, bahwasanya keberkahan-keberkahan Ramadhan adalah banyak
peristiwa-peristiwa besar nan mulia yang terjadi di bulan ini.
Dan
sesungguhnya dari sekian banyak peristiwa penting yang terjadi di bulan
yang penuh berkah ini, maka peristiwa yang paling fenomenal dan sangat
bermanfaat untuk ummat manusia adalah peristiwa turunnya al-Qur-an
al-Karim.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…”
[Al-Baqarah/2: 185]
Sedangkan di antara peristiwa fenomenal lainnya yang sarat manfaat, adalah sebagai berikut:
- Pertama: Perang Badar Kubra, yang dinamakan sebagai yaumul Furqaan (hari Pembeda).
Pada
hari itu Allah memisahkan dan membedakan antara kebenaran dan
kebathilan. Maka, ketika itu, kelompok minoritas yang beriman meraih
kemenangan atas kelompok besar yang kafir yang jauh lebih unggul dalam
hal kuantitas pasukan dan perbekalan. Peristiwa ini terjadi pada tahun
kedua Hijriyyah.
- Kedua, Futuh Makkah
Sesungguhnya
Allah telah memberi nikmat besar pada kaum mukminin dengan futuh
(penaklukan) yang penuh barakah ini. Orang-orang secara
berbondong-bondong masuk ke dalam Islam, lalu jadilah Makkah sebagai
Daarul Islam (negeri Islam), setelah sebelumnya menjadi pusat kesyirikan
orang-orang musyrik. Peristiwa ini terjadi pada tahun kedelapan
Hijriyah.
- Ketiga, Perang Hiththin pada tahun 584 H.
Dalam
peperangan ini kaum Salibis mengalami kekalahan yang telak. Dan
Shalahuddin al-Ayubi meraih kemenangan-kemenangan besar, lalu
mengembalikan hak-hak kaum muslimin dan merebut kembali Baitul Maqdis.
- Keempat, Peperangan ‘Ain Jaluut.
Inilah
peperangan sengit yang diakhiri dengan kemenangan bagi kaum muslimin
atas pasukan Tartar. Peperangan ini terjadi pada tahun 658 Hijriyyah.
Setelah
kami memaparkan secara global berbagai keutamaan yang menjadi
keistimewaan bulan Ramadhan, dan sekian banyak keberkahan yang
terkandung di dalam bulan mulia ini, maka tidak ada upaya kecuali aku
berdo’a untuk saudara-saudaraku sesama muslim agar mereka terus meneguk
berbagai keutamaan itu, dan bisa meraih berkah-berkah itu sebagai
implementasi dari perintah Allah Ta’ala dan mengikuti Sunnah Nabi-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat beliau Radhiyallahu anhum
yang mulia, dan para pendahulu dari ummat yang terpilih ini, serta
sebagai upaya mendulang berbagai manfaat yang bersifat ukhrawi maupun
duniawi, juga dari berbagai kebaikan yang luas.
[Disalin
dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa
Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin
‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Fathul Baari (IV/113).
[2] Ash-Shihhaah, karya al-Jauhari (III/1081), dengan sedikit perubahan.
[3]
Shahih al-Bukhari (II/228) Kitaabush Shaum bab Man Shaama Ramadhaana
liman wa Ihtisaaban wa Niyyatan dan Shahih Muslim (I/524) Kitaabush
Shalaah al-Musaafiriin bab at-Targhiib fii Qiyaami Ramadhaan
[4] Shahih Muslim (I/209) Kitaabuth Thahaarah bab ash-Shala-waatil Khamsi wal Jumlah ilal Jumu’ah.
[5] Shahih al-Bukhari (II/227) Kitaabush Shaum bab Hal Yuqaalu Ramadhaanu aw Syahru Ramadhaan.
[6] Sunan an-Nasa-i (IV/129) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlu Syahri Ramadhaan dan Musnad Imam Ahmad (II/230)
[7]
Shahih al-Bukhari (II/228) Kitaabush Shaum bab Hal Yaquulu innii
Shaa-im dan Shahih Muslim (II/807) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlu
ash-Shiyaam
[8] Fat-hul Baari (IV/104).
[9] Shahih Muslim (II/807) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlush Shiyaam
[10] Syarhun Nawawi li Shahiih Muslim (VIII/29).
[11] Ini merupakan bagian akhir dari kutipan hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan dan ditakhrij sebelumnya
[12]
Shahih al-Bukhari (II/226) Kitaabush Shaum bab ar-Rayyaan lish
Shaaimiin dan Shahih Muslim (II/808) Kitaabush Shiyaami bab Fadhlish
Shiyaam
[13] Syarhus Sunnah, karya al-Baghawi (VI/219).
[14]
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahihnya (II/ 228) Kitaabush
Shaum bab Man lam Yada’ Qaula az-Zuur wal ‘Amala bihi fish Shaum
[15]
Dari Tafsiir al-Manaar (II/138) dan kitab Shuumuu Tashihhuu, karya
Syaikh Sa’id al-Ahmari (hal. 16, 18), dan banyak sekali referensi dari
buku-buku serta majalah-majalah kedok-teran (medis) yang telah mengupas
manfaat puasa bagi kesehatan.
[16] Ath-Thibbun Nabawi, hal 258.
[17] Disadur dari kitab Shuumuu Tashihhuu, Syaikh Sa’id al-Ahmari (hal. 17).
[18] Tafsiir al-Manaar (II/148).
[19] Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (I/523) kitab Shalaatil Musaafiriin.
[20]
Lihat hadits-hadits yang menunjukkan perkara ini dalam Shahih
al-Bukhari (II/252) kitab Shalaah at-Taraawiih dan Shahih Muslim (I/524)
kitab Sha-laatil Musaafiriin
[21]
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna (شَدَّ الْمِئْزَرَ), ada
yang berpendapat maknanya adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah
dengan meningkatkan (kualitas dan ku-antitas) ibadahnya dari yang biasa
beliau lakukan. Pendapat lainnya memaknainya sebagai at-tasymiir
(bersegera) dalam ibadah. Sedangkan pendapat yang lainnya lagi adalah
menjauhi istri-istrinya dalam rangka menyibuki dirinya dalam beribadah.
Lihat Syarhun Nawawi li Shahiih Muslim (VIII/71).
[22]
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/255) kitab
Fadhlu Lailatil Qadr bab al-A’mal fil ‘Asyril Awaakhir min Ramadhaan dan
Muslim dalam Shahihnya (II/832) kitab al-I’tikaaf bab al-Ijtihaad fil
‘Asyril Awaakhir, lafazhnya milik Muslim.
[23]
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/228) kitab
ash-Shiyaam bab Ajwada maa Kaanan Nabiyyu fii Ramadhaan dan Muslim dalam
Shahihnya (IV/1803) kitab al-Fadhaa-il bab Kaanan Nabiyyu Ajwadan Naasi
bil Khairi minar Riihil Mursalah, dan lafazhnya milik al-Bukhari
[24] Lihat kitab Majaalis Syahri Ramadhaan, karya Syaikh Ibnu ‘Ustaimin (hal. 24).
[25]
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya (II/255)
kitab al-I’tikaaf bab al-I’tikaaf fil ‘Asyril Awaakhir dan Imam Muslim
dalam Shahihnya (II/831) kitab al-I’tikaaf bab I’tikaaf al-Asyril
Awaakhir min Ramadhaan.
[26]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/200) kitab al-‘Umrah
bab ‘Umrah fii Ramadhaan dan Muslim dalam Shahihnya (II/918) kitab
al-Hajj bab Fadhlil ‘Umrah fii Ramadhaan
[27] Lihat Syarhun Nawawi li Shahiih Muslim (IX/2) dan Fat-hul Baari (III/604).
Sumber: https://almanhaj.or.id/