Oleh: Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
Shalat
Tahajjud (Qiyaamul Lail) adalah shalat sunnah yang dilakukan seseorang
setelah ia bangun dari tidurnya di malam hari meskipun tidurnya hanya
sebentar. Sangat ditekankan apabila shalat ini dilakukan pada sepertiga
malam yang terakhir karena pada saat itulah waktu dikabulkannya do’a.
Hukum
shalat Tahajjud adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat
ditekankan). Shalat sunnah ini telah tetap berdasarkan dalil dari
Al-Qur-an, Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’
kaum Muslimin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan
pada sebahagian malam, lakukanlah shalat Tahajud (sebagai suatu ibadah)
tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat ke tempat yang
terpuji” [Al-Israa/17 :79]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka
memohon ampun (kepada Allah).” [Adz-Dzaariyaat/51 : 17-18]
Allah Ta’ala berfirman.
تَتَجَافَىٰ
جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ
لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya
dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki
yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” [As-Sajdah/32 : 16-17]
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ
“(Apakah
kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut
kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?…” [Az-Zumar/39 :
9]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَكْتُوْبَةِ الصَّلاَةُ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ.
“Shalat yang paling utama setelah shalat yang fardhu adalah shalat di waktu tengah malam.”[1]
KEISTIMEWAAN SHALAT TAHAJUD
Shalat
Tahajjud memiliki sekian banyak keutamaan dan keistimewaan sehingga
seorang penuntut ilmu sangat ditekankan untuk mengerjakannya. Di antara
keistimewaannya adalah.
Shalat Tahajjud adalah sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْـمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik
puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram,
dan sebaik-baik shalat setelah shalat yang fardhu adalah shalat
malam.”[2]
Shalat Tahajjud merupakan kemuliaan bagi seorang Mukmin.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
أَتَانِـيْ
جِبْـرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُـحَمَّدُ، عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ،
وَأَحْبِبْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ، وَاعْمَلْ مَا شِئْتَ
فَإِنَّكَ مَجْزِيٌّ بِهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْـمُؤْمِنِ قِيَامُهُ
بِاللَّيْلِ، وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ.
“Malaikat
Jibril mendatangiku, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah
sekehendakmu karena kamu akan mati, cintailah seseorang sekehendakmu
karena kamu akan berpisah dengannya, dan beramallah sekehendakmu karena
kamu akan diberi balasan, dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin
itu ada pada shalat malamnya dan tidak merasa butuh terhadap
manusia.”[3]
- Kebiasaan orang yang shalih.
- Pendekatan diri kepada Allah Ta’ala.
- Penghapus Kesalahan.
- Menjatuhkan dosa.
Keempat keutamaan ini (poin 3-6) terangkum dalam sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
عَلَيْكُمْ
بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِـحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ
قُرْبَةٌ لَكُمْ إِلَى رَبِّكُمْ وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ
عَنِ الْإِثْمِ.
“Hendaklah
kalian melakukan shalat malam karena ia adalah kebiasaan orang-orang
shalih sebelum kalian, ia sebagai amal taqarrub bagi kalian kepada
Allah, menjauhkan dosa, dan penghapus kesalahan.”[4]
Shalat malam adalah wasiat yang pertama kali Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam sampaikan kepada penduduk Madinah ketika beliau
memasukinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلاَمَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَام،َ
وَصِلُوا اْلأَرْحَامَ، وَصَلُّوا باِللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
تَدْخُلُوا الْـجَنَّةَ بِسَلاَمٍ
“Wahai
manusia! Sebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan
shalatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian
akan masuk Surga dengan selamat.”[5]
Shalat malam sebagai sebab diangkatnya derajat seseorang. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika ditanya tentang
tingkatan dalam derajat.
إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَلِيْنُ الْكَلاَمِ وَالصَّلاَةُ باِللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ.
“Memberi makan, ucapan yang santun, dan shalat di malam hari ketika orang lain tidur.”[6]
Dapat menguatkan hafalan Al-Qur-an, membantu bangun untuk shalat Shubuh, mencontoh generasi terdahulu, dan lainnya.
SHALAT TAHAJJUD RASULULLAH
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan shalat
Tahajjud, baik ketika beliau sedang mukim maupun sedang safar. ‘Aisyah
radhiyaallahu ‘anha pernah berkata, “Apabila Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam melakukan shalat (malam), beliau berdiri hingga
telapak kakinya merekah.” Lalu ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata,
“Kenapa engkau melakukan semua ini. Padahal Allah Ta’ala telah
mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu
beliau menjawab.
يَا عَائِشَةُ، أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا.
“Wahai ‘Aisyah, apakah tidak layak aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.”[7]
SHALAT TAHAJJUD PARA SALAFUSH SHALIH
Diriwayatkan
dari Abu Qatadah (wafat th. 54 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu malam,
tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu yang
sedang mengerjakan shalat dengan melirihkan suaranya.” Abu Qatadah
berkata, “Kemudian beliau bertemu dengan ‘Umar yang sedang mengerjakan
shalat dengan mengeraskan suaranya. “ Abu Qatadah berkata, “Tatkala
keduanya berkumpul di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
berkata kepada keduanya, ‘Wahai Abu Bakar, aku telah melewatimu ketika
engkau sedang shalat dan engkau melirihkan suaramu.’ Abu Bakar berkata,
‘Sesungguhnya aku telah memperdengarkan kepada Rabb yang aku bermunajat
kepada-Nya, wahai Rasulullah.’” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau
bertanya kepada ‘Umar, ‘Aku telah melewatimu, ketika itu engkau sedang
mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaramu.’” Abu Qatadah berkata,
“Lalu ‘Umar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku telah membangunkan
orang-orang yang sedang tidur terlelap dan mengusir syaitan.’ Lalu Nabi
bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, keraskan suaramu sedikit.’ Dan berkata
kepada ‘Umar, ‘Wahai ‘Umar, lirihkan suaramu sedikit.”[8]
Diriwayatkan
dari Zaid bin Aslam (wafat th. 136 H) rahimahullaah bahwa ‘Umar
radhiyallaahu ‘anhu melakukan shalat malam dalam waktu yang cukup lama
hingga di akhir malam beliau membangunkan keluarganya untuk melakukan
shalat. Beliau berkata, “Shalatlah kalian! Shalatlah kalian!” Kemudian
beliau membaca ayat berikut.
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan
perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu
dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang
memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang
yang bertakwa.‘ [Thaha/20 : 132]”[9]
Diriwayatkan
dari Ibnu Sirin rahimahullaah, ia berkata, “Isteri ‘Utsman berkata
ketika beliau terbunuh, ‘Sungguh kalian telah membunuhnya. Sesungguhnya
ia itu (‘Utsman bin ‘Affan, wafat th. 35 H) selalu menghidupkan malamnya
dengan Al-Qur-an (dalam shalat malam).’”[10]
Diriwayatkan
bahwa Dhirar bin Dhamrah al-Kinani rahimahullaah menyifati ‘Ali bin
‘Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu ketika ia dipanggil oleh Amirul Mukminin
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Beliau
(‘Ali) tidak merasa gembira dengan dunia dan gemerlapnya dan beliau
merasa gembira dengan malam dan kegelapannya. Aku bersaksi kepada Allah,
sesungguhnya aku pernah melihatnya pada beberapa kesempatan ketika
malam telah gelap dan bintang telah tenggelam, beliau telah berdiri
miring di tempat shalatnya sambil meraba jenggotnya dan menangis seperti
orang yang ditimpa kesedihan. Maka seakan-akan aku mendengarnya
mengatakan, ‘Wahai Rabb, wahai Rabb,’ dengan penuh permohonan
kepada-Nya.”[11]
Abu
‘Utsman an-Nahdi rahimahullaah mengatakan, “Aku pernah bertamu pada Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu selama tujuh hari. Ternyata dia,
isterinya, dan pembantunya membagi malam menjadi tiga. Apabila yang satu
telah shalat, lalu membangunkan yang lain.”[12]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengenai diri ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللهِ لَوْ كَانَ يُصَلِّيْ مِنَ اللَّيْلِ.
“Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah, seandainya ia mau shalat malam.”[13]
Sesudah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, ia tidak
banyak tidur di waktu malam. Sebagian besar malamnya ia pergunakan untuk
shalat dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Terkadang ia melakukannya
hingga menjelang sahur. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada isteri beliau, Hafshah, “Sesungguhnya saudaramu (Ibnu ‘Umar)
seorang yang shalih.”[14]
Baca Juga Mengucapkan Amien Setelah Al-Fâtihah
Ibnu
‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Aku pernah shalat (malam) di
belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir malam, lalu
beliau mengarahkan diriku sejajar dengannya. Tatkala selesai aku
berkata, “Apakah pantas bagi seseorang jika ia melakukan shalat sejajar
denganmu, padahal engkau adalah utusan Allah.’ Lalu beliau berdo’a
kepada Allah agar Dia memberikan kepadaku tambahan pemahaman dan
ilmu.”[15]
Mengenai
firman Allah Ta’ala, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.”
Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, “Mereka hanya sebentar tidur
di waktu malam.” Dan mengenai firman-Nya, “Dan di akhir malam mereka
memohon ampun.” (Adz-Dzaariyaat: 17-18) Al-Hasan berkata, “Mereka
memanjangkan shalat hingga waktu sahur, kemudian mereka berdo’a dan
merendahkan diri.”[16]
‘Ali
bin al-Husain bin Syaqiq rahimahullaah mengatakan, “Tidak pernah
kulihat orang yang lebih pas bacaanya daripada Ibnul Mubarak. Tidak ada
yang lebih baik bacaannya dan lebih banyak shalatnya daripada dia. Dia
shalat disepanjang malam, baik dalam perjalanan (safar) maupun yang
lainnya. Dia mentartilkan bacaan dan memanjangkannya, dia sengaja
meninggalkan tidur agar orang lain tidak mengetahuinya saat ia
shalat.”[17]
Yahya
bin Ma’in rahimahullaah mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang
pun yang lebih utama daripada Waki’ bin al-Jarrah rahimahullaah, dia
tekun melakukan shalat, menghafalkan banyak hadits, sering shalat malam,
dan banyak berpuasa.” Puteranya, Ibrahim, berkata, “Ayahku shalat malam
dan semua penghuni rumah, sampai pembantu kami, juga ikut shalat.”[18]
[Disalin
dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”,
Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX
264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani
1428H/April 2007M]
_______
Footnote:
[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[3]
Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/325), dishahihkannya dan
disepakati adz-Dzahabi, sanadnya dihasankan oleh al-Mundziri dalam
at-Targhiib wat Tarhiib (I/640). Beliau menisbatkan hadits ini kepada
ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan Imam al-Haitsami memberi isyarat
tetapnya sanad ini dalam kitabnya Majma’uz Zawaa-id (II/253) dan
menisbatkannya kepada ath-Thabrani dalam al-Ausath. Hadits ini
dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 831)
dan beliau menyebutkan tiga jalan periwayatan: dari ‘Ali, Sahl, dan
Jabir radhiyallaahu ‘anhum.
[4]
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3549), al-Hakim
(I/308), dan al-Baihaqi (II/502), lafazh ini milik al-Hakim, dari
Shahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu.
[5]
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/451), at-Tirmidzi (no.
2485), Ibnu Majah (no. 1334, 3251), al-Hakim (III/13), ad-Darimi
(I/340), dan selainnya, dari Shahabat ‘Abdullah bin Salam radhiyallaahu
‘anhu. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 569).
[6]
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/243), at-Tirmidzi (no.
3235), dan al-Hakim (I/521), dari Shahabat Mu’adz bin Jabal
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (III/99, no. 2582).
[7] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4837) dan Muslim (no. 2820), lafazh ini milik Muslim
[8]
Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1329), at-Tirmidzi (no.
447), dan al-Hakim (I/310), lafazh ini milik Abu Dawud.
[9] Muwaththa’ Imam Malik (I/117, no. 5), Tafsiir ath-Thabari (III/840, no. 24461), dan Tafsiir Ibni Katsir (III/189).
[10] Kitab az-Zuhd (no. 671), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.
[11] Hilyatul Auliyaa’ (I/126, no. 261).
[12] Al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (IV/209).
[13] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1122, 1157), Muslim (no. 2479), Ahmad (II/146), dan ad-Darimi (II/127).
[14] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2478) dan at-Tirmidzi (no. 3825).
[15] Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/338)
[16] Kitab az-Zuhd (no. 1487), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.
[17] Kitaab Jarh wat Ta’diil (I/266).
[18] Shifatush Shafwah (II/723, no. 453).
Sumber: https://almanhaj.or.id/