الإِلْحَادُ فِي تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ
Penyimpangan Dalam Tauhid Rububiyyah (5)
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Penyimpangan dalam tauhid ar-Rububiyah ada 2 macam:
Pertama: نَوَاقِضُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Pembatal-pembatal tauhid ar-Rububiyah
Jika
seseorang terjerumus dalam pembatal-pembatal tersebut maka tauhid
ar-Rububiyahnya batal dan ia terjerumus dalam syirik akbar
Kedua: نَوَاقِصُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ Pengurang kemurnian tauhid Ar-Rububiyah.
Jika
seseorang terjerumus dalam pengurang-pengurang ini, maka imannya tidak
batal hanya saja ia terjerumus dalam syirik kecil (ashghor).
Pembatal-Pembatal tauhid rububiyyah diantaranya
Pembatal Tauhid Rububiyyah
- Pertama: Atheism الْقَوْلُ بِعَدَمِ الرَّبِّ (akan datang pembahasan khusus akan hal ini di akhir pembahasan)
- Kedua: Berbilangnya Pencipta (القَوْلُ بِتَعَدُّدِ الآلِهَةِ)
Perkataan ini bathil karena bertentangan dengan firman Allah,
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (QS Al-Ikhlas : 1)
Nabi juga berfirman,
إِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Sesungguhnya Allah itu Witr dan menyukai yang witr (ganjil).” (HR. Bukhari no. 6410 dan Muslim no. 2677)
Diantara kelompok yang berpemahaman ini,
- Pertama: Dualisme
Yaitu meyakini ada dua tuhan. Ada beberapa kelompok yang meyakini dualisme, diantatanya:
- Tsunawiyah, yaitu meyakini bahwa cahaya dan kegelapan adalah dua perkara yang azali. Namun meskipun mereka mengganggap cahaya dan kegelapan sama-sama azali akan tetapi tetap keduanya berbeda dalam banyak hal, dalam dzat, tabi’at, perbuatan, jenis, tempat (lokasi), dan lainnya.
- Majusi, yang meyakini bahwa ada dua kekuatan di alam semesta yaitu cahaya/api dan kegelapan, hanya saja yang qodim (azali) adalah cahaya. Sementara kegelapan adalah hadits (tidak qodim)
- Al-Manawiyah, yaitu pengikut Mani bin Fatak. Mereka meyakini bahwa alam ini tercipta dari dua dzat yang azali, akan tetapi mereka berpendapat bahwa keduanya berbeda dari sisi jiwa, bentuk, perbuatan, dan pengaturan. Bedanya dengan Tsunawiah al-Manawiyah tidak menyatakan bahwa kedanya adalah cahaya dan kegelapan.
- Kedua: Trinitas
Yaitu meyakini 3 Tuhan. Diantara yang berkeyakinan trinitas adalah:
- Hindu, yang mengatakan tuhan itu ada brahmana, wisnu, dan siwa.
- Nasrani, yang mengatakan tuhan itu ada tuhan bapa, tuhan anak, dan tuhan roh kudus
Baca Juga: Dalil-dalil Tauhid Rububiyyah
Kelompok-kelompok
yang mengakui bahwa tuhan ada dua atau tiga, naluri mereka tetap saja
meyakini akan adanya tuhan yang satu. Kaum Nasrani yang meyakini tiga
tuhan tetap berusaha mengatakan 3 sama dengan 1, kaum Hindu tetap
meyakini Brahmana- lah tuhan yang paling top diantara semuanya, demikian
pula Majusi yang meyakini tuhan api yang paling top.
Ibnu Taimiyyah berkata :
أَنَّ
إِثْبَاتَ رَبَّيْنِ لِلْعَالَمِ لَمْ يَذْهَبْ إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنْ
بَنِي آدَمَ، وَلاَ أَثْبَتَ أَحَدٌ إِلَهَيْنِ مُتَمَاثِلَيْنِ، وَلاَ
مُتَسَاوِيَيْنِ فِي الصِّفَاتِ وَلاَ فِي الأَفْعَالِ، وَلاَ أَثْبَتَ
أَحَدٌ قَدِيْمَيْنِ مُتَمَاثِلَيْنِ، وَلاَ وَاجِبَيْ الْوُجُوْدِ
مُتَمَاثِلَيْنِ، وَلَكِنَّ الإِشْرَاكَ الَّذِي وَقَعَ فِي الْعَالَمِ
إِنَّمَا وَقَعَ بِجَعْلِ بَعْضِ الْمَخْلُوْقَاتِ مَخْلُوْقَةً لِغَيْرِ
اللهِ فِي الإِلَهِيَّةِ بِعِبَادَةِ غَيْرِ اللهِ تَعَالَى، وَاتِّخَاذِ
الْوَسَائِطِ وَدُعَائِهَا وَالتَّقَرُّبِ إِلَيْهَا، كَمَا فَعَلَ
عُبَّادُ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ وَالْكَوَاكِبِ وَالأَوْثَانِ، وَعُبَّادِ
الأَنْبِيَاءِ وَالْمَلاَئِكَةِ أَوْ تَمَاثِيْلِهِمْ وَنَحْوِ ذَلِكَ.
فَأَمَّا إِثْبَاتُ خَالِقَيْنِ لِلْعَالَمِ مُتَمَاثِلَيْنِ فَلَمْ يَذْهَبْ إِلَيْهِ أَحَدٌ مِنَ الآدَمِيِيْنَ
“Sesungguhnya
menetapkan dua Tuhan bagi alam maka tidak seorangpun dari keturunan
Adam yang berpendapat demikian. Demikian juga tidak seorangpun yang
menetapkan adanya dua sesembahan yang sama persis, atau menetapkan dua
sesembahan yang sama persis dalam sifat-sifatnya atau
perbuatan-perbuatannya, dan tidak seorangpun menetapkan dua qodim
(azali) yang sama persis, tidak juga wajibul wujud yang sama persis.
Akan tetapi kesyirikan yang terjadi di alam hanyalah terjadi dengan
menjadikan sebagian makhluk adalah makhluk bagi selain Allah dalam
peribadatan, yaitu dengan beribadah kepada selain Allah, demikian juga
mengambil perantara-perantara lalu berdoa kepadanya dan bertaqorrub
kepadanya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah matahari,
rembulan, bintang-bintang, berhala-berhala. Juga para penyembah para
nabi dan para malaikat, atau patung-patung mereka dan yang semisalnya.
Adapun
menetapkan adanya 2 pencipta alam yang sama persis maka tidak
seorangpun dari keturunan Adam yang berpendapat demikian” ([1])
- Ketiga: Adanya Tuhan selain Allah (القَوْلُ بِوُجُوْدِ الرَّبِّ غَيْرِ الله)
Seperti
Firaun yang mengaku dirinya adalah tuhan, demikian pula Namrud, atau
Budha Sidharta Gautama yang diyakini oleh para pengikutnya sebagai
tuhan.
Firaun mengaku dirinya sebagai tuhan padahal dia tahu bahwa dirinya bukanlah tuhan. Allah berfirman tentang perkataan Musa,
قَالَ
لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَٰؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضِ بَصَائِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
Musa
menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang
menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit
dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira
kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. (QS Al-Isra’ : 102)
Orang
pertama yang mengetahui kebohongan Fir’aun adalah dirinya sendiri. Ia
tahu bahwa ia bukanlah tuhan, betapa banyak hal yang tidak mampu ia
kerjakan, dan betapa ia tahu kelemahan dirinya akan tetapi karena
kesombongan semata ia mengaku tuhan. Allah berfirman:
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Dan
mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal
hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa
kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan (QS An-Naml : 14)
Adapun kaumnya mengaku Firáun sebagai tuhan hanya karena dibodohi oleh Firáun. Allah berfirman:
وَنَادَى
فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ
وَهَذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلَا تُبْصِرُونَ، أَمْ
أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ،
فَلَوْلَا أُلْقِيَ عَلَيْهِ أَسْوِرَةٌ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ جَاءَ مَعَهُ
الْمَلَائِكَةُ مُقْتَرِنِينَ، فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ
إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Dan
Fir´aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah
kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir
di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya). Bukankah aku lebih
baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan
(perkataannya). Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau
malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?. Maka Fir´aun
mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya.
Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (QS Az-Zukhruf :
51-54)
Namrud juga mengaku dirinya tuhan, sebagaimana saat Nabi Ibrahim berdialog dengan Namrud,
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ
الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ
قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ ۖ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ
يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ
فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah
kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya
(Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan
(kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan
dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan
mematikan”.Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari
dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,” lalu terdiamlah orang
kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim. (QS Al-Baqarah : 258)
Berbeda
dengan Budha, dirinya tidak pernah mengaku sebagai tuhan,
pengikut-pengikutnya yang berlebihan lah yang kemudian
mempertuhankannya. Budha tidak pernah menciptakan apa-apa, Budha
hanyalah orang bijak, bahkan sahabat-sahabatnya di zaman awal juga tidak
mempertuhankannya. Demikian pula Nabi Isa, sahabat-sahabatnya sama
sekali tidak menyembah Nabi Isa, hingga datang Paulus dan
pengikut-pengikutnya di zaman belakangan mulailah melakukan penyembahan
terhadap Isa.
- Keempat: Azalinya alam (الْقَوْلُ بِقِدَمِ الْعَالَمِ)
Mereka
mengatakan bahwa alam itu ada bersamaan dengan adanya tuhan, bukan
adanya tuhan lalu tuhan menciptakan alam. Jelas ini perkataan yang
bathil karena mengingkari sifat “mencipta” Tuhan.
Nabi bersabda:
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
“Dahulu Allah sendirian dan tidak ada sesuatupun selainNya” (HR Al-Bukhari no 3191)
Hal ini adalah keyakinan sebagian kaum falasifah seperti Ibnu Sina dan Faarobi.
- Kelima: Adanya yang mengatur sebagian alam semesta selain Allah tetapi dengan izin Allah (الْقَوْلُ بِوُجُوْدِ الْمُدَبِّرِ غَيْرِ اللهِ بِإِذْنِ الله)
Seperti
anggapan sebagian manusia yang meyakini bahwa Allah memberikan hak
otonomi kepada sebagian makhluknya untuk mengatur sebagian dari alam.
Namun yang benar adalah Allah tidak pernah memberikan satu pun hak
otonomi kepada selain diri-Nya untuk mengatur sebagian alam, bahkan
malaikat pun tidak. Jika dikatakan bahwa ada malaikat yang mengatur
hujan, maka itu hanyalah sekadar melaksanakan perintah Allah saja,
adapun hak untuk mengaturnya malaikat tidak memilikinya.
Oleh
karena itu, keyakinan sebagian orang bahwa pantai selatan diatur oleh
Nyi Roro Kidul adalah perkataan bathil dan merupakan kesyirikan di dalam
bab tauhid rububiyyah. Demikian juga keyakinan sebagian orang bahwa
gunung tertentu diatur oleh jin atau penunggunya juga merupakan
kesyirikan dalam tauhid ar-Rububiyah.
Demikian
juga keyakinan sebagian kaum Syiáh Rofidhoh yang menyatakan bahwa dunia
dan akhirat adalah milik para imam mereka, dimana para imam mengaturnya
sesuai dengan yang mereka kehendaki. Mereka meyakini bahwa para imam
mereka mengetahui ilmu ghaib, mereka mengetahui kapan mereka mati dan
mereka tidak mati kecuali dengan izin mereka.
Demikian
juga keyakinan sebagian kaum sufiyah yang menyatakan bahwa As-Syaikh
Abdul Qodir al-Jailani telah diberi “kun” oleh Allah, sehingga ia bisa
menyatakan “kun fayakun” dengan izin Allah.
Ali Al-Faasi, penulis kitab Jawaahirul Ma’aani fi Faydi Sayyidi Abil ‘Abaas At-Tiijaani, menukil perkataan At-Tijani :
“Adapun
perkataan penanya : Apa makna perkataan Syaikh Abdul Qodir Al-Jailaani
radhiallahu ‘anhu : “Dan perintahku dengan perintah Allah, jika aku
berkata kun (jadi) maka (yakun) terjadilah” …dan juga perkataan
sebagian mereka : “Wahai angin tenanglah terhadap mereka dengan izinku”
dan perkataan-perkataan para pembesar yang lain radhiallahu ‘anhum, yang
semisal ini maka perkataan (Abdul Qodir al-Jailany) radhiallahu ‘anhu.
Maknanya adalah Allah memberikan kepada mereka Khilaafah Al-‘Udzma
(kerajaan besar) dan Allah menjadikan mereka khalifah atas kerajaan
Allah dengan penyerahan kekuasaan secara umum, agar mereka bisa
melakukan di kerajaan Allah apa saja yang mereka kehendaki. Dan Allah
memberikan mereka kuasa kalimat “kun”, kapan saja mereka berkata kepada
sesuatu “kun” (jadilah) maka terjadilah tatkala itu” ([2])
- Keenam: Keyakinan wihdatul wujud/hululiyyah/ittihadiyah (وِحْدَةُ الْوُجُوْدِ)
Ini
adalah perkataan Ibnu ‘Arabi dan pengikut-pengikutnya, mereka
mengatakan bahwa Allah bersatu dengan makhluk. Sesungguhnya pemahaman
ini lebih kufur daripada Nasrani, jika sebagian Nasrani berkata bahwa
Allah bersatu dengan Nabi Isa seorang, adapun wihdatul wujud meyakini
Allah bersatu dengan semua makhluk.
- Ketujuh: Keyakinan bahwa berhala memberi manfaat dan mudorot
Kedelapan
: Berhukum dengan selain hukum Allah, seraya meyakini bahwa selain
Allah berhak juga untuk mengeluarkan hukum yang setara dengan hukum
Allah, atau lebih baik dari hukum Allah.
Hal
ini merupakan pembatal tauhid ar-Rububiyah karena Allah maha esa dalam
menetapkan hukum-hukum, ketika seseorang meyakini ada selain Allah yang
juga boleh menetapkan hukum (yang nilainya sama dengan hukum Allah atau
lebih baik) maka pada dasarnya ia telah membatalkan tauhid
ar-Rububiyahnya.
- Kesembilan: Keyakinan bahwa gerakan/munculnya bintang dan planet mempengaruhi kejadian alam (الاِعْتِقَاُد بِتَأْثِيْرِ النُّجُوْمِ وَالْكَوَاكِبِ عَلَى الحَوَادِثِ الأَرْضِيَّةِ)
Hal
ini membatalkan tauhid ar-Rububiyah karena meyakini bahwa benda-benda
langit yang merupakan benda mati ikut mempengaruhi peristiwa-peristiwa
di bumi. Padahal yang menentukan kejadian-kejadian alam hanyalah Allah
semata.
Hal-hal yang mengotori kemurnian tauhid ar-Rububiyah (نَوَاقِصُ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّةِ)
Diantara hal-hal yang mengurangi nilai tauhid ar-Rububiyah dan mengotori kemurniannya adalah :
Pertama: Bersumpah dengan selain Allah
Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat kekufuran atau berbuat kesyirikan” ([3])
Tidaklah
seseorang bersumpah dengan selain Allah kecuali mengagungkannya. Jika
ternyata ia memandang sesuatu tersebut keagungannya sama dengan Allah
maka ia telah terjerumus dalam syirik besar, jika tidak maka ia
terjerumus dalam syirik kecil. ([4])
Kedua: Menyandarkan nikmat kepada selain Allah.
Meskipun
dengan meyakini bahwa selain Allah tersebut hanyalah sebab, akan tetapi
seharusnya nikmat disandarkan kepada pemberi nikmat yang sesungguhnya.
Seperti
perkataan, “Kalau bukan polisi tentu saya sudah dirampok”, “Kalau bukan
kelihaian nahkoda tentu kapal sudah tenggelam”, dan semisalnya.
Justru
dalam kondisi bersyukur karena selamat dari keburukan atau kekawatiran
seharusnya seseorang mengingat Allah bukan malah mengingat sebab. Karena
hal ini mengurangi nilai tauhid ar-Ribubiyah, yaitu meyakini bahwa
hanya Allah yang mengatur alam semesta, dan hanya Allah yang memberikan
segala kenikmatan.
Ketiga:
Menyandarkan kenikmatan kepada Allah dan juga kepada selain Allah
dengan kata gandeng (seperti kata gandeng “dan”) yang mengesankan
persamaan.
Contoh mengatakan, مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ “Atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan”. Atau berkata, لَوْلاَ اللهُ وَفُلاَنٌ “Kalau bukan karena Allah dan si fulan”.
Karena
kedua perkataan di atas menunjukan seakan-akan kehendak si fulan
menyamai kehendak Allah dalam menentukan terjadinya kejadian. Rasulullah
bersabda:
لاَ تَقُوْلُوا مَا شَاءَ اللهُ وَشَاءَ فُلاَنٌ، وَلَكِنْ قُوْلُوا مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شَاءَ فُلاَنٌ
“Janganlah
kalian berkata, “Atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan”, akan
tetapi katakanlah, “Atas kehendak Allah lalu kehendak si Fulan” ([5])
Keempat: Protes kepada taqdir Allah dengan mengatakan “seandainya”.
Sabda Nabi ﷺ ,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَلَا تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ
كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ
“Orang
mukmin yang tangguh lebih baik dan lebih Allah cintai dibanding mukmin
yang lemah dan pada keduanya terdapat kebaikan. Upayakanlah segala yang
bermanfaat bagimu, dengan tetap meminta pertolongan dari Allah dan
jangan pernah merasa lemah. Bila engkau ditimpa sesuatu maka jangan
pernah berkata, “Seandainya aku berbuat demikian niscaya kejadiannya
akan demikian dan demikian”. Namun ucapkanlah, “Ini adalah takdir Allah
dan apapun yang Allah kehendaki pastilah terjadi”, karena sejatinya
ucapan ”seandainya” hanyalah membuka pintu godaan setan.” ([6])
Karena
seseorang ketika ditimpa dengan apa yang dia tidak sukai, lantas ia
berkata, “Seandainya…”, maka seakan-akan ia tidak setuju dan protes
kepada keputusan Allah. Seakan-akan ia tidak setuju dengan “pengaturan”
(rububiyah) Allah. Seharusnya ia berkata “Ini adalah takdir Allah dan
apapun yang Allah kehendaki pastilah terjadi” yang menunjukan ia pasrah
dengan ketetapan Allah.
Kelima: Mencela masa/waktu/zaman
Diriwayatkan
dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قَالَ تَعَالَى: يُؤْذِيْنِيْ ابْنِ آدَم، يَسُبُّ الدَّهْر، وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَار
“Allah
Ta’ala berfirman, ‘Anak Adam (manusia) menggangguku, mereka mencela
masa padahal aku adalah pemilik dan pengatur masa. Akulah yang
menjadikan mala dan siang silih berganti’.”
Dalam riwayat yang lain dikatakan,
لَا تَسُبُّوا الدَّهْر، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْر
“Janganlah kalian mencela masa, karena Allah adalah Ad-Dahr itu sendiri.”
Karena
pada hakikatnya masa atau zaman tidaklah bisa berbuat apa-apa, ia
diatur oleh Allah. Karenanya jika seseorang mencela masa sesungguhnya ia
telah mencela sang pengaturnya yaitu Allah. Dan mencela pengaturan
Allah berarti mencela rububiyah Allah.
Keenam: Mencela angin
Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لاَ تَسُبُّوْا الرِّيْحَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَا تَكْرَهُوْنَ فَقُوْلُوْا
“Janganlah kamu mencaci maki angin. Apabila kamu melihat suatu hal yang tidak menyenangkan, maka berdoalah:
اللَّهُمَّ
إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِ هَذِهِ الرِّيْحِ، وَخَيْرِ مَا فِيْهَا،
وَخَيْرِ مَا أُمِرَتْ، وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ هَذِهِ الرِّيْحِ،
وَشَرِّ مَا فِيْهَا، وَشَرِّ مَا أُمِرَتْ بِهِ
“Ya
Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, dan
kebaikan apa yang ada di dalamnya, dan kebaikan yang untuknya Kau
perintahkan ia, dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini,
dan keburukan yang ada di dalamnya, dan keburukan yang untuknya Kau
perintahkan ia.” (HR. Tirmudzi, dan hadits ini ia nyatakan shahih).
Hal
ini sama dengan yang sebelumnya (mencela masa), karena angin tidaklah
berkehendak, ia diatur oleh Allah. Jika seseorang mencela angin berarti
ia mencela pengaturnya. Dan mencela pengaturan Allah berarti mencela
rububiyah Allah.
Ketujuh: Keyakinan bahwa perbuatan hamba bukan ciptaan Allah (الْقَوْلُ بِأَنَّ أَفْعَالَ الْعِبَادِ غَيْرُ مَخْلُوْقَةٍ)
Ini
adalah perkataan kaum Qadariyyah, mereka meyakini bahwa ada hal yang
tidak diciptakan oleh Allah di alam semesta ini, yaitu perbuatan hamba.
Dengan demikian melazimkan ada pencipta selain Allah. Karenanya Nabi
bersabda tentang qodariyah:
الْقَدَرِيَّةُ مَجُوسُ هَذِهِ الْأُمَّةِ: إِنْ مَرِضُوا فَلَا تَعُودُوهُمْ، وَإِنْ مَاتُوا فَلَا تَشْهَدُوهُمْ
“Qodariyah
adalah Majusi umat ini, jika mereka sakit maka jangan jenguk mereka,
dan jika mereka mati maka jangan hadiri janazah mereka” ([7])
Hal
ini karena majusi mengatakan bahwa ada dua pencipta, pencipta kebaikan
yaitu cahaya/api, dan pencipta keburukan yaitu kegelapan. Sama halnya
dengan qodariyah yang menyatakan bahwa keburukan perbuatan manusia tidak
diciptakan oleh Allah. Kelaziman dari keyakinan qodariyah ini seharunya
membatalkan (bukan sekadar mengurangi) nilai tauhid ar-Rububiyyah,
hanya saja para ulama tidak mengkafirkan mereka karena syubhat yang ada
pada mereka.
Kedelapan : Keyakinan bahwa “penciptaan” adalah “ciptaan/makhluk” itu sendiri (الخَلْقُ هُوَ الْمَخْلُوْقُ)
Ini adalah pernyataan Jahmiyah yang diikuti oleh Asyaíroh karena ingin menghindar dari kaidah mereka sendiri مَا تَحُلُّهُ الْحَوَادِثُ فَهُوَ حَادِثٌ “Apa
yang ditempati oleh hawadits (sesuatu) yang baru maka ia juga baru”.
Menurut ahlus sunnah bahwasanya sifat Allah al-kholq (penciptaan) adalah
sifat yang qodim azali yang tegak di dzat Allah, hanya saja Allah
menciptakan kapan saja Allah kehendaki dengan berkata “Kun”. Allah
menciptakan Adam álaihis salam bukan di zaman azali tetapi di kemudian
hari ketika Allah hendak menciptakannya, demikian pula Allah menciptakan
langit dan bumi. Bagi Jahmiyah dan Asyaíroh bahwa kondisi Allah
menciptakan di waktu yang tertentu adalah sesuatu yang merupakan
kejadian baru pada diri Allah, yang melazimkan berarti Allah melakukan
“penciptaan” terus menerus, dan ini berarti terjadi kejadian-kejadian
baru pada dzat Allah dan ini tentu tidak boleh dalam kaidah mereka.
Sehingga mereka mentakwil “kholq (penciptaan)” dengan “makhluk” yang
terjadi terus menerus([8]).
Kelaziman
dari pernyataan “penciptaan adalah makhluk itu sendiri” sebenarnya
adalah membatalkan tauhid ar-Rububiyah karena menafikan sifat
“penciptaan” yang merupakan sifat utama Tuhan sebagai Pencipta. Akan
tetapi para ulama tidak mengkafirkan mereka karena ada syubhat yang ada
pada diri mereka. Seperti mereka mengatakan bahwa makhluk tercipta bukan
dengan “penciptaan” akan tetapi dengan sifat al-irodah yang qodim
dengan pemunculan irodah yang berkaitan dengan penciptaan yang otomatis
karena sudah diprogramkan dalam irodah qodimah.
Kesembilan: Keyakinan bahwa semua makhluq tersusun dari al-Jawahir al-Mufrodah
Ahlus
sunnah meyakini bahwa Allah menciptakan manusia dari unsur yang berbeda
dari unsur untuk menciptakan hewan, pohon, batu, dan air. Atau satu
makhluk tercipta dari berbagai unsur.
Berbeda
dengan mayoritas al-Jahmiyah, al-Mu’tazilah, dan al-Asyaíroh. Menurut
mereka yang pertama Allah ciptakan adalah al-Jauhar al-Mufrod, dari
al-Jauhar al-Mufrod itulah Allah menyusun dan memisahkan sehingga
menjadi langit, menjadi bumi, menjadi api, menjadi air, dll. Semuanya
berasal dari unsur terkecil yang sama yang disebut dengan al-Jauhar
al-Mufrod([9]). Jadi Allah tidak pernah menciptakan benda-benda dan
makhluk-mahkluk yang berdiri sendiri, akan tetapi Allah menciptakan
sifat-sifat yang tegak pada al-jawahir al-mufrodah tersebut. Jadi anak
yang lahir dari rahim, buah yang timbul dari pohon, api yang muncul dari
batu bara, semuanya asalnya adalah unsur yang sama (yaitu kumpulan
al-Jauhar al-Mufrod) hanya saja Allah rubah sifat-sifatnya dengan 4 cara
(الاِجْتِمَاعُ dikumpulkan, الاِفْتِرَاقُ dipisahkan, الحَرَكَةُ gerakan, dan السُّكُوْنُ diam) sehingga berubah pula bentuknya.
Ini
tentu mengurangi nilai tauhid ar-Rububiyah Allah yang menciptakan
dengan apa yang Allah kehendaki, dan tidak terbatas pada al-Jauhar
al-Mufrod.
Ini merupakan aqidah yang batil dari 3 sisi:
Pertama: Mayoritas
manusia menolak adanya keyakinan tentang al-Jauhar al-Mufrod. Pendapaat
ini juga tidak dikenal dari seorangpun dari kalangan para sahabat, para
tabiín, para imam yang ma’ruf.
Kedua:
Menurut mereka yang dimaksud dengan al-Jauhar al-Mufrod yaitu sesuatu
yang satu sisinya tidak terbedakan dengan sisi yang lain, tidak
terbedakan antara kanan dan kirinya, bahkan mereka mengatakan bahwa ia
tidak ada ukurannya. Tentu ini hanyalah hayalan semata, dan tidak ada di
alam nyata. Allah telah menjadikan ukuran/takaran bagi segala sesuatu. قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا “Allah
menjadikan bagi segala sesuatu ukuran” (QS At-Tholaq : 3). Jika
al-Jauhar al-Mufrod sifatnya seperti yang mereka sebutkan (tidak
terbedakan antara kanan dan kirinya, tidak ada ukurannya), maka Allah
tidak pernah menciptakan makhluk yang seperti itu, karena setiap makhluk
pasti ada kadar/ukurannya.l
Ketiga:
Pada hakikatnya pendapat ini melazimkan bahwasanya Allah tidak
menciptakan sesuatu dari sesuatu. Karena menurut mereka unsurnya tetap
ada (yaitu kumpulan al-Jauhar al-mufrod) hanya saja Allah memberi bentuk
pada unsur-unsur tersebut.
Keempat:
Kenyataan yang ada menurut ilmu kimia bahwasanya unsur bukan hanya
satu, bahkan banyak unsur yang berbeda-beda. Demikian juga unsur bisa
berubah menjadi unsur yang lain dengan proses kimia. Tentu diketahui
bahwa unsur yang menyusun kaca tentu tidak sama dengan unsur yang
menyusun buah kurma, tidak sama pula dengan unsur yang menyusun air
mani. Demikian juga unsur yang menyusun malaikat tidak sama dengan unsur
yang menyusun jin dan manusia.
Kelima:
Pada hekikatnya pendapat ini mengingkari “penciptaan” Allah, karena
Allah menurut mereka hanyalah menyusun tanpa menciptakan unsur yang baru
Keenam:.
Jika hakikat penciptaan hanyalah 4 perkara (berkumpul, berpisah,
bergerak, dan diam) yang terjadi pada al-jauhar al-mufrod, maka
seharusnya tidak akan terjadi sesuatu yang baru, karena tidak terjadi
proses kimia. Sebagaimana air jika digabungkan atau dipisahkan atau
didiamkan atau digerakan maka tidak akan menimbulkan benda lain selain
air itu sendiri, hanya saja terjadi perubahan bentuk, akan tetapi
bendanya tetaplah air. Ini tentu bertentangan dengan kenyataan, bahwa
benda manusia tentu tidak sama dengan benda kaca.([10]).
Ketujuh:
Teori al-Jauhar al-Fard bukanlah teori islami, akan tetapi teori Yunani
yang dicetuskan oleh Dimokritos (460 SM – 370 SM) yang terkenal dengan
teori atom-nya. Justru dengan teori atom tersebut pala filsuf Yunani
menyatakan tentang azalinya alam, dan dijadikan batu loncatan untuk
mengingkari adanya tuhan. Hal ini karena mereka meyakini bahwa atom-atom
penyusun alam azali dan tidak akan pernah punah, dan hanya berpindah
dari satu bentuk ke bentuk lainnya karena perubahan interaksi dari satu
atom dengan atom lainnya. Akan tetapi teori atom inipun diperselisihkan
oleh para filsuf Yunani terdahulu([11]).
Artikel ini penggalan dari Buku Syarah Rukum Iman Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
________
([1]) Dar’ Taáarud al-Áql wa an-Naql 9/344
([2]) Jawaahirul Ma’aani wa Buluug Al-Amaani 2/62
([3]) HR At-Tirmidzi no 1535 dan dishahihkan oleh Al-Albani
([4]) Lihat al-Qoul al-Mufiid, al-Útsaimin 2/211
([5]) HR Abu Daud no 4980 dan dishahihkan oleh Al-Albani
([6]) HR. Muslim No. 2664
([7]) HR Abu Daud no 4691 dan dihasankan oleh Al-Albani
([8]) Lihat جُهُوْدُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّة 1/207-217
([9])
Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah di Majmuu al-Fataawa 17/244-245,
Minhajus Sunnah 2/139 dan Dar at-Taáarud 3/442-445 dan 8/320
([10]) Lihat جُهُوْدُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ فِي تَقْرِيْرِ تَوْحِيْدِ الرُّبُوْبِيَّة 1/196-206
([11]) Lihat Muqoddimah fi Naqd Madaaris ilmi al-Kalaam, Dr Mahmuud Qoosim, hal 13
Sumber: https://bekalislam.firanda.com/