Type Here to Get Search Results !

13 AMALAN SUNNAH SAAT MENDAKI GUNUNG

Ustadz Abul Aswad Al Bayati, BA. 

Aktifitas pendakian gunung, safar ke pegunungan, atau mendaki gunung adalah aktifitas yang sudah sejak zaman dahulu dikenal oleh manusia. Bahkan tercatat di dalam sejarah para nabi pun melakukan aktifitas ini. Namun bedanya mereka memiliki misi penting lagi mulia dari perjalanan mereka.

Seperti nabi Musa ‘alaihissalam yang bersafar menuju lembah suci gunung Tursina. Tak jarang juga Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam mendaki gunung Uhud bersama para sahabat.

عَنْ قَتَادَةَ ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَعِدَ أُحُدًا ، وَأَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرُ ، وَعُثْمَانُ فَرَجَفَ بِهِمْ ، فَقَالَ : اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ ، وَصِدِّيقٌ ، وَشَهِيدَانِ

“Dari Qatadah bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan kepada mereka bahwa suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke Gunung Uhud dan bersama beliau ada Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radhiyallahu anhum).

Maka gunung Uhud lantas bergetar hebat, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memenangkannya seraya berkata,

“Tenanglah wahai Uhud, karena di atasmu ada seorang Nabi, seorang Shiddiq dan dua orang Syahid.”

(HR. Bukhari : 3472).

Maka hendaknya kita juga menjadikan aktifitas ini bernilai pahala di sisi Allah ta’ala. Membawa misi penting berupa keinginan kuat menghidupkan beberapa sunnah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah jarang dilakukan oleh manusia. Bukan hanya sekedar melampiaskan hobi dan kesenangan semata.

Dan berikut ini adalah amalan-amalan sunnah yang bisa kita lakukan tatkala kita melakukan aktifitas pendakian di gunung :

1. Berwudhu dengan air satu mud dan berhemat dalam penggunaan air

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan air satu mud dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud.”

(HR. Bukhari : 198, Muslim : 325).

Syaikh Abdullah bin Sulaiman Al-Mani’ menuturkan:

وقد بحثت هيئة كبار العلماء في المملكة العربية السعودية مقدار الصاع بالكيلو جرام وكان بحثها معتمداً على أن صاع رسول الله صلى الله عليه وسلم أربعة أمداد ، وأن المد ملء كفي الرجل المعتدل

“Haiah Kibar Ulama di KSA telah meneliti ukuran satu Sho’ jika dikonversikan ke kg. Dan penelitian ini berdasarkan fakta bahwa satu Sho’ menurut Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam itu sama dengan empat Mud, dan bahwasanya satu Mud setara dengan sepenuh dua telapak tangan lelaki yang sedang.”

(Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyah edisi 59 hal. 179

2. Tayammum

Ini dilakukan tatkala kita tidak mendapatkan air yang cukup untuk bersuci, Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau berhubungan badan dengan perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,

maka bertayammumlah dengan permukaan bumi yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu”.

(QS. Al-Maidah : 6).

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا ، فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ، ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِها ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Engkau cukup melakukan seperti ini :

Beliau lantas menepukkan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau meniupnya,

kemudian beliau mengusap telapak tangan dengan telapak kirinya atau mengusap telapak tangan kiri dengan telapak tangannya kemudian mengusapkan keduanya ke wajah beliau.”

(HR. Bukhari : 4704, Muslim : 368).

3. Mengusap alas kaki

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Shafwan bin Asal berkata:

فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya.

Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.”

(HR. Ahmad 4/239 dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth).

4. Mengumandangkan adzan di gunung dan sholat berjamaah di sana

يَعْجَبُ رَبُّكَ مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِي رَأْسِ شَظِيَّةِ الْجَبَلِ يُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ وَيُصَلِّي، فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: انْظُرُوا إِلَى عَبْدِي هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيمُ الصَّلَاةَ يَخَافُ مِنِّي، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِي وَأَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ

“Tuhanmu takjub kepada seorang penggembala domba di puncak gunung, dia mengumandangkan adzan untuk sholat, lalu dia sholat.

Maka Allah ta’ala berfirman : “Lihatlah hambaku ini, di mengumandangkan adzan dan beriqamat untuk sholat, dia takut kepadaku, Aku telah mengampuni hambaku ini dan memasukkanya ke dalam surga.”

(HR Abu Dawud : 1203 dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 424).

5. Menentukan arah kiblat

Syaikh Bin Baz menyatakan:

إذا كان المسلم في السفر أو في بلاد لا يتيسر فيها من يرشده إلى القبلة فصلاته صحيحة ، إذا اجتهد في تحري القبلة ثم بان أنه صلى إلى غيرها .

“Apabila seorang muslim berada dalam kondisi safar atau berada di sebuah negri yang tidak ada orang bisa menunjukan arah kiblat :

maka sholatnya sah jika ia telah berusaha mencari arah kiblat, kemudian ternyata ia sholat dengan menghadap arah selain kiblat.”

(Majmu’ Fatawa : 10/420).

Dan ketika kita berada di gunung kita bisa menggunakan minimalnya dua metode untuk mengetahui arah kiblat yaitu :

– Menggunakan matahari

– Mendeteksi kiblat dengan lumut di pepohonan.

Tatkala malam telah tiba kita bisa meraba lumut yang tumbuh di batang pohon. Diantara sifat lumut ia ini menyerap energi panas dan menyimpannya sehingga jika kita mendapati lumut terasa hangat di malam hari, kemungkinan besar sisi lumut yang hangat itu adalah sisi batang pohon yang ada di sisi barat. Karena tadi di kala siang lumut tersebut menerima pancaran sinar matahari dari arah barat yang kemudia ia serap dan simpan energi panas tersebut, wallahu a’lam.

6. Menjamak dan mengqashar sholat

Syaikh Masyhur Hasan Ali Salman menyatakan;

ذهب جماعة كبيرمن الفقهاء إلى مشروعية الجمع بعذر السفر ولم يخالف إلا الحنفية ومن حذا حذوهم في منع الجمع على الإطلاق

“Banyak sekali para ulama’ ahli fiqih yang berpendapat disyariatkannya menjamak shalat karena udzur safar dan tidak ada yang menyelisihinya, kecuali madzhab Hanafiyah serta orang yang mengikuti mereka di dalam melarang jamak secara mutlak.”

(Al-Jam’u Bainas Shalatain : 54).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan:

كلُّ اسمٍ ليس له حَدٌّ في اللغة ولا في الشَّرع، فالمرجِعُ فيه إلى العُرْف

“Setiap sesuatu yang tidak memiliki batasan di dalam syariat maka batasannya dikembalikan kepada ‘Urf (Kebiasaan masing-masing daerah).”

(Majmu’ Fatawa : 24/40).

7. Shalat dengan menggunakan alas kaki (sendal ataupun sepatu)

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ، وَلَا خِفَافِهِمْ

“Selisihilah orang Yahudi ! sesungguhnya mereka tidak shalat dengan menggunakan sandal maupun sepatu.”

(HR. Abu Daud 652 dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahihul Jami’ : 321).

8. Observasi waktu shalat subuh

Disebutkan di dalam kitab Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim disebutkan:

قال الفقهاء: يبدأ وقت صلاة الصبح بطلوع الفجر الصادق بالإجماع والفجر الصادق هوالبياض المستطير المنتشر فى الأفق

“Para ulama ahli fiqih menyatakan waktu sholat subuh itu dimulai dengan terbitnya fajar shadiq berdasarkan kesepakatan para ulama.

Dan Fajar Shadiq adalah semburat warna putih yang muncul dan menyebar di ufuk timur.”

(Fathul Mun’im Syarah Shahih Muslim : 3/311).

Dan keberadaan Fajar Shadiq ini hanya bisa kita lihat dengan jelas, terang dan gamblang tatkala kita ada di lokasi yang sangat lapang seperti di pinggir pantai, atau lokasi yang tinggi seperti puncak gunung. Sehingga pandangan kita ke arah ufuk tidak terhalang oleh keberadaan pohon, rumah, gedung dll.

Dengan begitu orang yang mendaki gunung akan bisa menyaksikan secara langsung perbedaan mencolok antara Fajar Shadiq dengan Fajar Kadzib.

9. Menyingkirkan gangguan di jalan

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُمِيْطُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ

“kamu membuang gangguan dari jalan adalah sedekah.”

(HR Bukhari : 2989, Muslim : 1009)

10. Bertakbir ketika menanjak serta bertasbih ketika turun

Disebutkan dalam salah satu riwayat yang shahih:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم و أصحابه إذا علوا الثنايا كبروا و إذا هبطوا سبحوا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya biasa jika melewati jalan mendaki, mereka bertakbir (mengucapkan “Allahu Akbar”).

Sedangkan apabila melewati jalan menurun, mereka bertasbih (mengucapkan “Subhanallah”).

(HR Abu Dawud : 3599 dishahihkan oleh Al-Albani).

Pelaksanaan takbir dan tasbih pada kondisi ini tidak berlaku kecuali tatkala kita sedang bersafar jauh seperti mendaki gunung. Adapun ketika di rumah atau lingkungan sekitar rumah tidak disyariatkan dzikir ini.

Imam Ibnu Utsaimin menyatakan:

ولم ترد السنة بأن يفعل ذلك في الحضر، والعبادات مبنية على التوقيف، فيقتصر فيها على ما ورد، وعلى هذا فإذا صعد الإنسان الدرجة في البيت فإنه لا يكبر، وإذا نزل منها فإنه لا يسبح، وإنما يختص هذا في الأسفار

“Tidak pernah tersebut sunnah bahwa dzikir ini dilakukan tatkala mukim. Ibadah itu dibangun di atas prinsip Tawaqquf (berdasar dalil). Maka hendaknya hanya dilakukan sesuai dengan konteks redaksi yang ada.

Atas dasar ini maka jika seseorang naik sepeda di rumahnya maka ia tidak usah bertakbir, dan saat turun dari sepeda ia tidak usah bertasbih. Akan tetapi dzikir tersebut khusus dilakukan saat safar.”

(Liqa’ Babul Maftuh : 3/102).

Dan perlu diperhatikan di sini bahwa pelaksanaan takbir ini tidak boleh berlebihan atau terlalu keras. Yang demikian kami pernah mendapati para orang-orang yang mendaki gunung bertakbir dengan berteriak-teriak.

Adalah Syaikh Abdulllah bin Jarullah menuliskan satu bab di dalam kitab beliau berjudul “Bab tentang larangan dari berlebihan di dalam mengeraskan bacaan takbir dan dzikir lainnya.” Kemudian beliau menukilkan beberapa hadits dalam bab ini.

(Lihat Tadzkiratul Basyar Fi Ahkamis Safar : 14 karya Syaikh Abdullah bin Jarullah).

Maknanya tatkala kita bertakbir atau bertasbih dengan volume suara yang biasa saja tidak perlu berteriak-teriak. Yang kedua takbir dan tasbih ini dibaca sendiri-sendiri bukan takbir berjamaah dengan satu suara yang dikomando.

wallahu a’lam.

11. Berdzikir tatkala takjub melihat indahnya ciptaan Allah

Sebagaimana firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” “

(QS Ali Imron : 194).

12. Amar ma’ruf nahi mungkar

Untuk situasi dan kondisi mendaki gunung di pegunungan Amar Makruf Nahi Munkar bisa dilakukan dengan cara memusnahkan sesajen atau jimat yang kita temui di gunung, mengucapkan salam, tersenyum kepada pendaki lain, bersedekah, mengingatkan waktu shalat dan sebagainya.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من كان معه فضل ظهر  فليعد به على من لا ظهر له، ومن كان له فضل زاد، فليعد به على من لا زاد له

“Barangsiapa memiliki keluasan kendaraan hendaknya membonceng orang yang tidak memiliki tunggagan kendaraan. Dan barangsiapa memili kelebihan bekal hendaknya ia memberi orang yang tak memiliki bekal.”

(HR Muslim : 1728).

13. Tidak duduk atau berbaring dengan posisi sebagian badan terkena sinar matahari

Disebutkan dalam salah satu riwayat:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى أَنْ يُجْلَسَ بَيْنَ الضِّحِّ وَ الظِّلِّ وَ قَالَ مَجْلِسُ الشَّيْطَانِ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang duduk di antara tempat panas (yang tidak ada naungannya) dan tempat dingin (yang ada naungannya), dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itu adalah tempat duduknya setan’.”

(HR. Ahmad: 3/413, dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah Shahihah : 838)

Demikian beberapa amalan sunnah saat mendaki gunung yang bisa kemi ketengahkan di sini. Bukan berarti tidak ada sunnah lain selain ketiga belas point ini akan tetapi ini adalah sebagian dari sekian banyak hal yang bisa kita lakukan agar kita senantiasa mendapatkan keutamaan dan pahala saat perjalanan safar kita semoga bermanfaat.

wallahu a’lam.

Disusun oleh: Ustadz Abul Aswad al Bayati حفظه الله

(Dewan Konsultasi Bimbinganislam.com)

 Sumber: https://bimbinganislam.com/

MULAILAH DENGAN TAUHID

Dakwah memiliki kedudukan yang sangat agung dalam agama kita. Selain memiliki pahala yang sangat besar bagi yang mengembannya, dakwah juga temasuk tugas para nabi dan rasul. Siapa yang meniti jalan mereka maka akan mendapatkan apa yang para nabi dan rasul dapatkan. Sampainya islam kepada kita tidak lain karena kegigihan Nabi, Sahabat, dan para ulama dalam menyebarkan dakwah yang mulia ini ke penjuru dunia.

Dakwah bukan perkara yang sederhana dan ringan. Untuk mencapai tujuan dari dakwah, maka kita harus mengikuti metode dakwah para nabi dan rasul. Orang-orang menawarkan perubahan dengan berbagai macam cara agar dakwah diterima, ada memulai dengan politik, dengan alasan ketika kekuasaan ada di tangan mereka, mereka mudah mengendalikan masyarakat menuju Allah, sehingga dakwah yang mereka bawa selalu bermuatan politik. Sebagian yang lain memulai dakwah dari ekonomi, akhlak, pendidikan, social, dan yang lainnya, tentunya dengan tujuan agar dakwah diterima oleh kalangan masyarakat.

Jika kita menengok dan membaca kembali kisah para nabi dan rasul, bagaimana mereka berdakwah dan dengan tema apa yang mereka bawa, maka kita akan dapati dakwah tauhid menjadi prioritas utama dalam berdakwah. Tak peduli penyakit apa yang menjangkit masyarakat atau kaum, yang pasti tauhid menjadi tema utama dakwah tauhid. Karena mereka berdakwah berdasarkan wahyu dan tuntunan ilahi bukan berdasarkan hawa nafsu atau agar digandrungi masyarakat.

Berikut beberapa alasan, kenapa dakwah harus dimulai dengan tauhid;

1. Tujuan manusia diciptakan untuk mentauhidkan Allah

Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Makna ayat tersebut; sesungguhnya Allah ta’ala menciptakan makhluk untuk beribadah kepada-Nya semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang taat kepada-Nya akan Allah balas dengan balasan yang sempurna. Sedangkan barangsiapa yang durhaka kepada-Nya niscaya Allah akan menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras. Allah pun mengabarkan bahwa diri-Nya sama sekali tidak membutuhkan mereka. Bahkan mereka itulah yang senantiasa membutuhkan-Nya di setiap kondisi. Allah adalah pencipta dan pemberi rezeki bagi mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir Surat Adz-Dzariyat : 56)

2. Tauhid adalah fitrah manusia

Allah ta’ala berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS ar-Ruum: 30).

Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah menjadikan pada akal manusia (kecenderungan menganggap) baik kebenaran dan (menganggap) buruk kebatilan. Karena sesungguhnya semua hukum dalam syariat Islam yang lahir maupun batin, Allah telah menjadikan pada hati semua makhluk-Nya kecenderungan (untuk) menerimanya, maka Allah menjadikan di hati mereka rasa cinta kepada kebenaran dan selalu mengutamakannya. Inilah hakikat fitrah Allah (yang dimaksud dalam ayat di atas).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan, hlm. 640).

Dan barangsiapa yang keluar dari asal (fitrah) ini maka itu karena adanya sesuatu yang mempengaruhi dan merusak fitrah tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Semua bayi (yang baru lahir) dilahirkan di atas fitrah (cenderung kepada Islam), lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari 1/465 dan Muslim no. 2658)

3. Tauhid adalah perjanjian pertama manusia dan Allah

Allah firman-Nya:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu (Allah ta’ala) mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Rabbmu”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (iman dan tauhid kepada Allah).” (QS al-A’raaf: 172)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dalam keadaan mereka mempersaksikan terhadap diri mereka sendiri bahwa Allah adalah Rabb (yang maha menciptakan dan memberi rezki) serta maha menguasai (mengatur segala urusan) mereka, dan bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia. Sebagaimana Allah ta’ala menjadikan fitrah dan tabiat mereka (ketika lahir di dunia) di atas keyakinan tersebut.” (Tafsir Ibni Katsir, 2/347).

4. Tauhid tujuan utama diutusnya para Rasul

Allah Ta’ālā berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian” (QS. Al-Anbiyā`: 25).

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ ۚ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ

Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah, bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. (QS. An-Nahl : 36)

Bagian Pertama

Melanjutkan pembahasan pada bagian sebelumnya Mulailah dengan Tauhid (Bagian 1), yaitu urgensi atau pentingnya kita memulai dakwah dan tarbiyah mengenai Tauhid yakni mengesakan Allah ‘azza wa jalla. Berikut lanjutan tentang poin-poin pentingnya tauhid.

Tauhid tujuan utama diturunnya Al-Quran

Allah Ta’ala berfirman,

الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آَيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ (1) أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنَّنِي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ (2) وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan dan pembawa khabar gembira kepadamu daripada-Nya, dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 1-3).

Tauhid, dakwah pertama untuk mengajak manusia

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ سَتَأْتِيْ قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَىْهِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ– وَفِيْ رِوَايَةٍ – : إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ – فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَـمْسَ صَلَوَاتٍ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لَكَ بِذٰلِكَ ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ ، وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْـمَظْلُوْمِ ، فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.

Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka hendaklah pertama kali yang kamu sampaikan kepada mereka ialah syahadat Laa Ilaha Illallah wa anna Muhammadar Rasulullah -dalam riwayat lain disebutkan, ‘Sampai mereka mentauhidkan Allah.’- Jika mereka telah mentaatimu dalam hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah mentaati hal itu, maka sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Dan jika mereka telah mentaati hal itu, maka jauhkanlah dirimu (jangan mengambil) dari harta terbaik mereka, dan lindungilah dirimu dari do’a orang yang teraniaya karena sesungguhnya tidak satu penghalang pun antara do’anya dan Allah. (HR. Al-Bukhari, no. 1496 dan Muslim, no. 19)

Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam berdakwah ada urutannya, dan memulai dakwah dari hal-hal terpenting, dan yang paling utama adalah memulai dengan dakwah tauhid.

Syariat Jihad ditegakkan sebagai Penyempurna Tauhid

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّـهِ ۚ فَإِنِ انتَهَوْا فَإِنَّ اللَّـهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٣٩﴾

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (kesyirikan) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal : 39)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ، أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku diperintahkan memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka terlindungi dariku, kecuali dengan hak Islam dan hisab (pehitungan) mereka pada Allah Ta’ala. (HR. Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 22)

Dalil di atas menunjukkan bahwa sebab utama kesyirikan diperangi karena mereka menyekutukan Allah, tentunya memerangi mereka dengan memperhatikan petunjuk Nabi dalam berperang, tidak serampangan dalam memahami jihad.

Tauhid Syarat Mendapatkan Kemenangan dan Kedudukan

Allah ‘azza wa jalla berfirman.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur : 55)

Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah (wafat: 310 H) mengatakan:

وذُكر أن هذه الآية نزلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم من أجل شكاية بعض أصحابه إليه في بعض الأوقات التي كانوا فيها من العدوّ في خوف شديد مما هم فيه من الرعب والخوف، وما يلقون بسبب ذلك من الأذى والمكروه

“Disebutkan bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah  dikarenakan keluh kesah sebagian sahabat beliau pada beberapa kejadian memilukan yang menimpa mereka dari pihak musuh, berupa rasa takut yang mencekam dan menteror, berupa gangguan dan hal-hal menyusahkan yang mereka jumpai karena kejadian-kejadian memilukan tersebut.” (Tafsir Ath-Thabari: 19/209[3])

Imam As-Sam’ani Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat: 489-H) mengatakan:

وَذكر بعض أهل التَّفْسِير: أَن أَصْحَاب رَسُول الله تمنوا أَن يظهروا على مَكَّة، فَأنْزل الله تَعَالَى هَذِه الْآيَة

“Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para Sahabat Rasulullah berangan-angan untuk menguasai Makkah (yang saat itu tengah dikuasai oleh orang-orang musyrik), maka Allah menurunkan ayat ini.” (Tafsîr As-Sam’ani: 3/544[4])

Tauhid, Syarat Mendapatkan Keamanan dan Petunjuk

Allah berfirman:

سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُوا الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَأْوَاهُمُ النَّارُ وَبِئْسَ مَثْوَى الظَّالِمِينَ

“Kami akan campakkan rasa takut ke dalam hati orang-orang kafir, disebabkan mereka telah berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan keterangan tentangnya. Tempat kembali mereka adalah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal bagi orang-orang yang zhalim.” (QS. Ali ‘Imran: 151)

Al-Qurthubi menjelaskan tafsirnya, beliau berkata

أَيْ كَانَ سَبَبَ إِلْقَاءِ الرُّعْبِ فِي قُلُوْبِهِمْ إِشْرَاكَهُمْ

“Yaitu sebab dimasukkan rasa takut dalam hati mereka adalah karena perbuatan syirik mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi 4/223, Darul Kutub Al-Mishriyyah).

Sumber Kedua

Melanjutkan pembahasan pada bagian sebelumnya Mulailah dengan Tauhid (Bagian 2), masih mengenai urgensi atau pentingnya kita memulai dakwah dan tarbiyah mengenai Tauhid yakni mengesakan Allah ‘azza wa jalla. Berikut lanjutan tentang poin-poin pentingnya tauhid.

Tauhid adalah perintah pertama dan Syirik larangan pertama

Allah berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَ الْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ

Hindarilah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, “Apakah (tujuh perkara) itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Syirik (menyekutukan) Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam penyebutan kata syirik pada urutan pertama terdapat isyarat bahwa syirik merupakan dosa yang paling besar sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya.

Tauhid Adalah Kebaikan Yang Paling Besar

وقد سُئِل النبي صلى الله عليه وسلم : أي العمل أفضل؟ فقال صلى الله عليه وسلم: إيمان بالله ورسوله

Rasulullah pernah ditanya, Amalan apa yang paling utama? beliau menjawab: Iman Kepada Allah dan Rasul-Nya.

وسُئِل النبي – صلى الله عليه وسلم -: أيُّ الذنب أعظم عند الله؟ فقال صلى الله عليه وسلم : أن تجعل لله ندًّا، وهو خلقك

Rasulullah pernah ditanya dosa apa yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab; Engkau menjadikan sekutu bagi Allah sedangkan Dia yang menciptakanmu. (HR. Bukhari: 7520, dan Muslim: 86).

Tauhid adalah Syarat Diterimanya Amal

Firman Allah Ta’ala:

{قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya sembahan kalian adalah sembahan Yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah ketika mengomentari ayat di atas:

وَهذانِ ركُنَا العملِ المتقَبَّلِ. لاَ بُدَّ أن يكونَ خالصًا للهِ، صَوابُا  عَلَى شريعةِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم.

Ini adalah dua syarat sebuah amalan itu diterima yaitu harus ikhlas karena Allah dan harus sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir Ibnu Katsir)

Tauhid adalah Hak Allah atas Hamba-Nya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

يَامُعَاذُ ، أَتَدْرِيْ مَا حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ ، وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ ؛ قَالَ: حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوْهُ وَلَا يُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا ، وَحَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ، أَفَلَا أُبَشِّرُ النَّاسَ ؟ قَالَ: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوْا

Wahai Mu’adz! Tahukah engkau apa hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi oleh Allâh?’ Aku menjawab, ‘Allâh dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Beliau bersabda, “Hak Allâh yang wajib dipenuhi oleh para hamba-Nya ialah mereka hanya beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allâh ialah sesungguhnya Allâh tidak akan menyiksa orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah kausampaikan kabar gembira ini kepada mereka sehingga mereka akan hanya bersandar (kepada hal ini dan tidak beramal shalih).” (HR. Al-Bukhari, no. 2856, 5967, 6267, 6500, 7373 dan Muslim, no. 30).

Tauhid Menghapus Dosa-dosa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits qudsi:

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Allah Tabaraka wa ta’ala berfirman, “Wahai, anak Adam! Sungguh selama engkau berdoa kapada-Ku dan berharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni semua dosa yang ada pada engkau, dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya dosa-dosamu sampai setinggi awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dan Aku tidak peduli. Wahai, anak Adam! Seandainya engkau menemui-Ku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan Aku sedikit pun, tentulah Aku akan memberikan pengampunan sepenuh bumi.” (HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani).

Tauhid, Sebab Mendapatkan Keberkahan

Allah berfirman;

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka sendiri” (QS. Al-A’raf : 96)

Dalam ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandainya penduduk negeri-negeri merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka mendapatkannya dari segala arah.

Bersambung…

Ditulis Oleh:

Ustadz Abu Rufaydah, Lc., MA. حفظه الله

(Kontributor Bimbinganislam.com)

Sumber: https://bimbinganislam.com/mulailah-dengan-tauhid-bagian-ke-3/

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.