Zakat Profesi Dipotong Setiap Bulan adalah Tidak Tepat
By: dr. Raehanul Bahraen, M.Sc, Sp.PK
Hukum zakat profesi
Zakat
profesi yang dipotong setiap bulan dari gaji adalah penerapan qiyas
yang tidak tepat dan tidak konsisten. Nisab dan haulnya mengikuti zakat
tanaman, akan tetapi kadar zakatnya mengikuti zakat emas & perak
(zakat mal). Perhatikanlah poin-poin berikut.
Pertama: Alasan qiyas yang dilakukan tidak tepat
- Pertama, mereka melakukan qiyas terhadap zakat profesi dipotong tiap bulan karena di-qiyas-kan dengan zakat tanaman dan buah-buahan yang dipanen. Demikian juga gaji yang didapat (“dipanen”) setiap bulan. Padahal penghasilan profesi itu berupa uang, sehingga haulnya mengikuti zakat mal, yaitu setahun dan dikeluarkan tiap setahun sekali.
- Kedua, mereka melakukan qiyas terhadap kadar zakat profesi dengan zakat mal (emas & perak), yaitu 2,5%. Seharusnya, mereka konsisten apabila ikut aturan besar kadar zakat tanaman, maka kadarnya adalah 10%, apabila dilakukan pengairan alami (semisal hujan dan sungai), dan 5% apabila dilakukan pengairan dengan usaha (pakai alat tertentu untuk mengairi).
- Ketiga, mereka melakukan qiyas terhadap nisabnya ke zakat tanaman, yaitu 5 wasaq atau 652,8 kg gabah (520 kg beras). Apabila harga beras Rp 4.000 per kilogram, maka nisab zakat profesi adalah Rp 2.080.000. Jadi menurut mereka, semua orang yang punya pengasilan lebih dari Rp. 2.080.000 tiap bulan, harus dipotong untuk zakat profesi. Padahal, zakat mal (uang) itu nisabnya adalah emas dan perak. Kalau kita ambil perak (yang paling murah), maka nisabnya adalah 200 dirham atau 5 uqiyah. Jika 1 dirham Rp. 129.000, maka nisabnya adalah Rp. 25.800.000. Jadi SEHARUSNYA, yang memiliki gaji di atas 25 juta saja yang dipotong. Tentu saja, prakteknya menjadi TIDAK KONSISTEN.
- Keempat, zakat profesi yang benar adalah zakat profesi yang konsisten menggunakan panduan zakat mal, yaitu dikeluarkan setiap tahun (bukan setiap bulan), nisabnya adalah emas & perak dan kadarnya adalah 2,5%.
Kedua: Praktek di zaman Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu
Profesi
atau penghasilan bulanan sudah ada sejak zaman sahabat dahulu. Bahkan
Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu juga mendapatkan gaji dari baitul mal karena
tugas beliau sebagai khalifah saat itu. Beliau awalnya pedagang, tetapi
karena urusan kaum muslimin banyak menyita waktu, beliau tidak sempat
berdagang dan mendapatkan gaji dari baitul mal. Beliau radhiyallahu
‘anhu berkata,
لقد
عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي
وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا
الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه.
“Sungguh
kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan
keluargaku. Sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam.
Maka sekarang, keluarga Abu Bakr akan makan sebagian dari harta ini
(harta baitul mal), sedangkan dia akan bertugas mengatur urusan mereka.”
(HR. Bukhari)
Tidak
ada riwayat saat itu beliau dipotong gajinya untuk membayar zakat
profesi setiap kali gajian. Bahkan sistem penggajian itu diterapkan juga
kepada tentara dan pegawai khalifah yang mengurusi kaum muslimin. Tidak
ada saat itu keterangan yang menyebutkan diterapkannya zakat profesi
dipotong setiap gajian.
Ketga: Kesimpulan
Poin
penting yang perlu diperhatikan adalah penghasilan dan profesi di zaman
ini berupa uang, maka mengikuti aturan zakat mal. Yaitu haulnya setahun
dan dikelaurkan setiap tahun, bukan setiap bulan. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits,
وَلَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Dan tidak ada zakat pada harta hingga mencapai haul.” (HR. Abu Daud)
Sebagaimana
kita ketahui bahwa nisabnya adalah emas dan perak. Apabila uang setiap
bulan tersebut dipakai untuk kebutuhan sehari-hari dan selalu habis,
kemudian di akhir tahun tidak mencapai nisab, maka tidak dikeluarkan
zakatnya.
Fatwa Seputar Zakat Profesi
By Lajnah Da’imah lil al Buhuts al Ilmiyah wa al Ifta’
[Di terjemahkan oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc]
Ketua:
- Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah
Wakil ketua Lajnah:
- Syaikh Abdur razaq Afifi rahimahullah
Anggota:
- Syaikh Abdullah bin Ghudayyan
- Syaikh Abdullah bin Mani’
Menanggapi
masukan dari pembaca muslim.or.id di Jakarta, menyatakan perlunya
menampilkan bahasan tentang zakat profesi mengingat begitu maraknya
pembicaraan tentang zakat ini dengan tidak disertai pemahaman dan ilmu
yang mendasarinya. Berikut ini kami nukilkan fatwa-fatwa ulama berkaitan
dengan zakat profesi diambil dari Majalah As-Sunnah edisi 006 tahun
VIII 1424 H dikarenakan mendesaknya pembahasan tentang hal tersebut.
Zakat Gaji
Soal:
Berkaitan
dengan pertanyaan tentang zakat gaji pegawai. Apakah zakat itu wajib
ketika gaji diterima atau ketika sudah berlangsung haul (satu tahun)?
Jawab:
Bukanlah
hal yang meragukan, bahwa di antara jenis harta yang wajib dizakati
ialah dua mata uang (emas dan perak). Dan di antara syarat wajibnya
zakat pada jenis-jenis harta semacam itu, ialah bila sudah sempurna
mencapai haul. Atas dasar ini, uang yang diperoleh dari gaji pegawai
yang mencapai nishab, baik dari jumlah gaji itu sendiri ataupun dari
hasil gabungan uangnya yang lain, sementara sudah memenuhi haul, maka
wajib untuk dizakatkan.
Zakat
gaji ini tidak bisa diqiyaskan dengan zakat hasil bumi. Sebagai
persyaratan haul (satu tahun) tentang wajibnya zakat bagi dua mata uang
(emas dan perak) merupakan persyaratan yang jelas berdasarkan nash.
Apabila sudah ada nash, maka tidak ada lagi qiyas.
Berdasarkan itu maka tidaklah wajib zakat bagi uang dari gaji pegawai sebelum memenuhi haul.
Soal:
Saya
seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta dalam negeri. Gaji saya
setiap bulan sebesar empat ribu riyal saudi. Termasuk uang sewa rumah
sebesar seribu riyal Saudi. Apakah saya wajb mengeluarkan zakat harta?
Jika wajib, berapakah jumlahnya? Perlu diketahui, bahwa tidak ada
pemasukan sampingan bagi saya, kecuali gaji tersebut.
Jawab:
Apabila
anda telah memiliki kecukupan atau kelebihan dari gaji bulanan Anda
tersebut, maka wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishab.
Yaitu sekitar empat ratus riyal Saudi. Hal itu jika jumlah nishab
tersebut telah berlalu satu haul (satu tahun). Apabila anda menyisihkan
sejumlah uang dari gaji bulanan untuk ditabung, maka yang terbaik dan
paling selamat adalah Anda mengeluarkan zakat dari uang yang Anda tabung
itu pada bulan tertentu setiap tahunnya. Jumlahnya adalah dua setengah
persen dari harta yang dimiliki. Semoga Allah memberi taufik kepada
kita. (Fatwa Syaikh Bin Jibrin).
Zakat dari Gaji yang Sering Terpakai
Soal:
Apabila
seorang muslim menjadi pegawai atau pekerja yang mendapat gaji bulanan
tertentu, tetapi ia tidak mempunyai sumber penghasilan lain. Kemudian
dalam keperluan nafkahnya untuk beberapa bulan, kadang menghabiskan gaji
bulanannya. Sedangkan pada beberapa bulan lainnya kadangmasih tersisa
sedikit yang disimpan untuk keperluan mendadak (tak terduga).
Bagaimanakah cara orang ini membayarkan zakatnya?
Jawab:
Seorang
muslim yang dapat terkumpul padanya sejumlah uang dari gaji bulanannya
ataupun dari sumber lain, bisa berzakat selama sudah memenuhi haul, bila
uang yang terkumpul padanya mencapai nishab. Baik (jumlah nishab
tersebut berasal) dari gaji itu sendiri ataupun ketika digabungkan
dengan uang lain, atau dengan barang dagangan miliknya yang wajib
dizakati.
Tetapi,
apabila ia mengeluarkan zakatnya sebelum uang yang terkumpul padanya
memenuhi haul, dengan niat membayarkan zakatnya di muka, maka hal itu
merupakan hal yang baik saja Insya Allah.
Zakat Harta dari Sumber yang Berbeda-Beda
Soal:
Bagaimana
seorang muslim menzakati harta yang diperolehnya dari gaji, upah, hasil
keuntungan dan harta pemberian? Apakah harta-harta itu digabungkan
dengan harta-harta lain miliknya? Lalu ia mengeluarkan zakatnya pada
saat masing-masing harta tersebut mencapai haul? Ataukah ia mengeluarkan
zakatnya pada saat ia memperoleh harta itu jika telah mencapai nishab
harta itu sendiri, atau jika digabung dengan harta lain miliknya, tanpa
menggunakan syarat haul?
Jawab:
Dalam
hal ini, di kalangan ulama terjadi dua pendapat. Menurut kami, yang
rajih (kuat) ialah setiap kali ia memperoleh tambahan harta, maka
tambahan harta itu digabungkan pada nishab yang sudah ada padanya
(Maksudnya tidak setiap harta tambahan dihitung berdasarkan haulnya
masing-masing, pent).
Apabila
sudah memenuhi haul (satu tahun) dalam nishab tersebut, ia harus
mengeluarkan zakat dari nishab yang ada beserta tambahan harta hasil
gabungannya.
Tidak
disyaratkan masing-masing harta tambahan yang digabungkan dengan harta
pokok itu harus memenuhi haulnya sendiri-sendiri. Pendapat yang tidak
seperti ini, mengandung kesulitan yang amat besar. Padahal di antara
kaidah yang ada dalam Islam adalah:
“……Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan……” (Qs. al Hajj: 78)
Sebab,
seseorang – terutama jika seseorang itu memiliki banyak harta atau
pedagang – akan harus mencatat tambahan nishab setiap harinya, misalnya:
hari ini datang kepadanya jumlah uang sekian. Dan itu dilakukan sambil
menunggu hingga berputar satu tahun. Demikian seterusnya…, tentu hal itu
akan sangat menyulitkan. (Fatwa Syaikh al Bani dari majalah as Shalah
no. 5/15 Dzulhijjah 1413 dalam rubrik soal-jawab)
Soal:
1)
Seorang pegawai, gaji bulanannya diberikan secara tidak tetap. Kadang
pada bulan tertentu diberikan kurang dari semestinya, pada bulan lain
lebih banyak. Sementara, gaji yang diterima pertama kali sudah mencapai
haul (satu tahun). Sedangkan sebagian gaji yang lain belum memenuhi haul
(satu tahun). Dan ia tidak mengetahui jumlah gaji (pasti) yang
diterimanya setiap bulan. Bagaimana cara ia menzakatkannya?
2)
Seorang pegawai lain menerima gaji bulanannya setiap bulan. Pada setiap
kali menerima gaji, ia simpan di lemarinya. Dia memenuhi kebutuhan
belanja dan tuntutan rumah tangganya dari uang yang ada di lemari
simpanannya ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang berdekatan, akan
tetapi dengan jumlah yang tidak tetap, sesuai dengan kebutuhan.
Bagaimana cara mengukur haul dari apa yang ada di lemari? Dan bagaimana
pula cara mengeluarkan zakat dalam kasus ini? Padahal sebagaimana telah
diterangkan di muka, proses pemenuhan gaji (yang kemudian disimpan
sebagai persediaan harian), tidak semuanya sudah berjalan satu tahun?
Jawab:
Karena
pertanyaan pertama dan kedua mempunyai satu pengertian dan juga ada
kasus-kasus senada, maka Lajnah Da’imah (lembaga fatwa ulama di Saudi
Arabia), memandang perlu memberikan jawaban secara menyeluruh, supaya
faidahnya dapat merata.
Barangsiapa
yang memiliki uang mencapai nishab (ukuran jumlah tertentu yang
karenanya dikenai kewajiban zakat), kemudian memiliki tambahannya berupa
uang lain pada waktu yang berbeda-beda, dan uang tambahannya itu tidak
berasal dari sumber uang pertama dan tidak pula berkembang dari uang
pertama, tetapi merupakan uang dari penghasilan terpisah (seperti uang
yang diterima oleh seorang pegawai dari gaji bulanannya, ditambah uang
hasil warisan, hi ah atau hasil bayaran dari pekarangan umpamanya).
Apabila
ia ingin teliti menghitung haknya dan ingin teliti untuk tidak
membayarkan zakat kepada yang berhak kecuali menurut ukuran harta yang
wajib dizakatkan, maka ia harus membuat daftar perhitungan khusus bagi
tiap-tiap jumlah perolehan dari masing-masing bidang dengan menghitung
masa haul(satu tahun), semenjak hari pertama memilikinya. Selanjutnya,
ia keluarkan zakat dari setiap jumlah masing-masing, pada setiap kali
mencapai haul (satu tahun) semenjak tanggal kepemilikian harta tersebut.
Namun,
apabila ia ingin enak dan menempuh cara longgar serta lapang diri untuk
lebih mengutamakan pihak fuqara dan golongan penerima zakat lainnya, ia
keluarkan saja zakat dari seluruh gabungan uang yang dimilikinya,
ketika sudah mencapai haul (satu tahun) dihitung sejak nishab pertama
yang dicapai dari uang miliknya. Ini lebih besar pahalanya, lebih
mengangkat kedudukannya, lebih memberikan rasa santainya dan lebih
menjaga hak-hak fakir miskin serta seluruh golongan penerima zakat.
Sedangkan
jika uang yang ia keluarkan berlebih dari jumlah (nishab), uang yang
sudah sempurna haulnya, dihitung sebagai uang zakat yang dibayarkan di
muka bagi uang yang belum mencapai haul.
Zakat dari Harta yang disiapkan untuk Pernikahan (Suatu Keperluan)
Soal:
Saya
adalah seorang pegawai di salah satu kantor pemerintahan (pegawai
negeri). Setiap bulan saya menerima gaji sebesar empat ribu riyal. Dalam
waktu kurang lebih satu tahun, saya telah mengumpulkan uang sebanyak
tujuh belas ribu riyal. Saya simpan uang tersebut di sebuah bank
syari’at. Pada bulan Syawal, uang itu akan saya gunakan untuk biaya
pernikahan- Insya Allah. Bahkan, saya terpaksa meminjam uang
berkali-kali lebih banyak dari jumlah tabungan saya itu untuk keperluan
acara pernikahan. Pertanyaan saya, apakah uang tabungan saya sebesar
tujuh belas ribu riyal itu harus dibayarkan zakatnya? Sebagaimana
dimaklumi, uang tersebut telah berlalu satu haul. Jika wajib
dikeluarkan, berapakah jumlahnya?
Jawab:
Anda
wajib mengeluarkan zakat dari uang tabungan anda itu. Sebab telah
berlalu satu haul atasnya. Sekalipun anda menyiapkan uang itu untuk
biaya nikah, untuk membayar hutang ataupun untuk renovasi rumah dan
keperluan lainnya. Berdasarkan dalil-dalil umum yang berkenaan zakat
emas dan perak serta yang sejenis dengan keduanya. Jumlah yang wajib
dikeluarkan ialah dua setengah persen. Yaitu dua puluh lima riyal untuk
setiap seribu riyal. (Syaikh bin Baz)
Soal:
Apakah
uang tabungan dari gaji bulanan wajib dikeluarkan zakatnya? Sementara
sudah sempurna satu haul atasnya. Perlu juga diketahui, bahwa uang
tersebut tidak dibungakan dan akan digunakan untuk nafkah keluarga.
Apakah wajib dikeluarkan zakatnya?
Jawab:
Benar,
wajib dikeluarkan zakatnya jika telah sempurna satu haul. Sebab setiap
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, tidak disyaratkan harus diniatkan
untuk perniagaan. Oleh sebab itu pula, buah-buahan dan biji-bijian
wajib dikeluarkan zakatnya, meskipun tidak dipersiapkan untuk
diperdagangnkan. Hingga sekiranya seseorang memiliki beberapa pohon
kurma di rumahnya untuk dikonsumsi sendiri dan hasil buahnya telah
mencapai nishab, tetap wajib dikeluarkan zakatnya. Demikian pula halnya,
hasil pertanian dan lainnya yang wajib dibayarkan zakatnya. Begitu pula
binatang ternak yang digembalakn di tempat-tempat penggembalaan, wajib
dibayarkan zakatnya meskipun si pemilik tidak mempersiapkannya untuk
diperjualbelikan.
Hasil
tabungan dari gaji bulanan yang dipersiapkan untuuk nafkah juga wajib
dikeluarkan zakatnya, bila telah mencukupi satu haul dan mencapai
nishab.
Namun
dalam hal ini, ada permasalahan rumit bagi kebanyakan orang. Uang yang
mereka terima dari gaji bulanan atau dari penyewaan rumah atau toko yang
harganya naik setiap bulan atau sejenisnya, disimpan dalam tabungan
atau di bank. Kadang kala ia memasukkan uang dan kadangkala
mengambilnya, sehingga sulit baginya menentukan manakah yang telah
berlalu satu haul dari uang tabungannya itu.
Dalam
kondisi demikian – menurut pendapat kami – bila sepanjang satu tahun
tersebut uang tabungannya tidak kurang dari jumlah nishab, maka yang
terbaik baginya ialah menghitung haul mulai dari awal jumlah uang
tabungannya mencapai nishab. Kemudian mengeluarkan zakatnya bila telah
genap satu haul.
Dengan
demikian, ia telah mengeluarkan zakat uang tabungannya, baik yang sudah
genap satu haul maupun yang belum. Dalam kondisi ini, uang tabungan
yang belum genap satu haul, terhitung telah didahulukan zakatnya.
Mendahulukan pembayaran zakat tentunya dibolehkan. Cara seperti ini
tentu lebih mudah daripada setiap bulan menghitung haul uang tabungan.
(Syaikh Ibn Utsaimin)
Sumber: https://muslim.or.id/